2.

103 14 5
                                    

"Weeendie kenapa diem aja?" kata-kata itu membuyarkan lamunanku. Oh, aku melamun? Sejak kapan?

"Loh, kok lo udah ganti baju? Kapan gantinya?" tanyaku ketika melihat Kean sudah menggunakan kaos dan celana pendek rumahnya, tidak menjawab pertanyaan Kean sebelumnya.

"Barusan tau, masa lo nggak liat? Kan ngelamun sih! Mikir apaan, Weeendie?" tanya Kean sambil meletakkan kedua tangannya di atas besi balkon kamarnya.

Aku yang masih duduk di kursi santaiku tidak berniat untuk menjawab pertanyaan Kean. Maka dari itu aku menggeleng dan mejawab, "Nggak penting, kok."

"Yakin?" tanya Kean memastikan dan aku menjawabnya dengan anggukan. Setelah itu kita berdua menghabiskan waktu bernyanyi bersama di balkon kamar masing-masing hingga tak sadar kalau waktu berjalan begitu cepat.

Ger sudah pulang sekolah, dan aku ingin menyapanya. Jadi aku pamit sebentar dari Kean dan keluar dari dalam kamarku untuk menemui adikku yang baru saja pulang sekolah.

Rupanya ia tengah duduk di sofa ruang tamu dengan mata terpejam. Aku tau ia pasti begitu lelah, apapagi ia pergi kesekolah menggunakan sepeda kesayanganya. Jadi, aku memilih untuk duduk di sofa lain yang berhadapan dengannya.

Menyadari ada orang lain di ruangan ini, Ger membuka mata dan mengangkat kepalanya untuk melihat siapa orang tersebut. "Baru pulang?" pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulutku. Aku memang tidak pandai berbasa-basi.

"Kalau aku belum pulang ya sekarang nggak bakal ada di sini!" jawabnya ketus sambil mengambil dengan kasar tas ranselnya dan berjalan meninggalkanku kemudian masuk ke dalam kamarnya sendiri.

Aku hanya dapat pasrah. Aku memaki diriku sendiri karena sudah menanyakan hal yang amat-sangat-tidak-penting itu kepada adikku yang jelas aku tau baru saja pulang.

Karena tidak ada lagi yang dapat ku lakukan di lantai bawah ini, aku kembali ke kamarku yang terletak di lantai dua. Saat memasuki kamar, aku dapat mendengar alunan suara Kean yang tengah menyanyikan sebuah lagu dengan petikan gitar yang senada. Aku sangat menikmatinya. Aku tidak ingin Kean berhenti memainkan gitarnya. Tidak hanya untuk sekali saja.

Namun, ketika aku ingin tinggal di balkon kamarku bersama Kean untuk mendengar dirinya bernyanyi, aku mendengar jelas suara mobil berhenti di depan rumahku, oh tepatnya di garasi rumahku ya. Ibun pulang!

"Kean, Ibun pulang! Gue masuk dulu, ya?" kataku semangat sembari pergi berlari keluar kamar untuk menyambut kedatangan Ibun di bawah sana.

Ketika aku menuruni tangga dan tiba di ruang tamu keluarga Prasetyo, hal yang pertama ku lihat adalah Ibun sibuk dengan handphone-nya.

Aku kecewa.

Aku ingin menyambutnya dengan hangat, dengan pelukan seorang anak yang rindu dan mencoba untuk menyemangati ibunya sepulang kerja seperti dulu. Bukan sambutan dengan rasa kecewa karena melihat sang ibu tengah asik dengan benda kotak pintar itu.

"Ibun?" panggilku sambil menghampirinya untuk mendekat. Ibun hanya menjawab dengam gumaman yang tak terdengar begitu jelas dan masih asik dengan benda kotak itu.

Emosiku meluap begitu saja, aku tidak tahan untuk melihat Ibun yang semakin hari semakin cuek dengan keadaan lingkungan hanya karena benda di tangannya yang tak bisa lepas dari pandangannya sedetik pun.

"Ibun kok jadi sering main HP, sih? Ibun kan baru pulang, harusnya istirahat dulu baru main HP!" kataku kesal.

Ibun yang menyadari kekesalanku kini bangkit berdiri diikuti tatapan aneh sekaligus marah yang di hadiahkan kepadaku saat ini.

"Ini kerjaan dan ini penting, kalau kamu mau tau." kata Ibun dingin kemudian melanjutkan kegiatan sebelumnya yang terhenti.

"Oh, jadi Windy nggak penting buat Ibun?" tanyaku yang semakin tersulut emosi kala mendengar jawaban Ibun seperti itu.

"Cukup Windy! Kamu masih anak kecil tau apa sih? Ibun, tuh, lagi kerja, bukan main-main medsos kaya kamu doang!" bentak Ibun di luar kendali. Aku tidak menyangka sebelumnya kalau Ibun akan membentakku seperti itu. Ibun tidak pernah membentak anak-anaknya.

"Coba ayah masih ada, mungkin Ibun nggak bakal berubah." kataku lalu berlari cepat menuju kamarku. Saat ini yang aku inginkan hanyalah menangis. Aku tidak tahan lagi melihat semua orang-orang yang ku sayangi berubah begitu saja. Aku ingin mereka tetap sama seperti dulu dan tidak akan pernah berubah. Sedikitpun.

"Windy?" panggil seseorang dari luar kamarku.

Aku tau itu Kean, ia masih duduk di sana dengan gitarnya.
Aku tau Kean pasti mendengar bantingan keras pintu kamarku.
Aku tau Kean pasti ingin tahu apa yang terjadi.
Dan aku tau Kean pasti akan berhasil membuatku tenang dengan segala macam kata-kata bijaknya.
Karena aku tau Kean tidak ingin aku membenci keluargaku sendiri hanya karena emosi semata.

Tapi, kali ini aku sedang tidak ingin mendengarkan kata-kata bijak Kean yang—sepertinya—terdengar lebih memihak Ibun daripada aku. Dengan berat hati perlahan aku menutup pintu balkon kamarku dan menolak Kean dengan lembut tanpa mengucapkan sepatah katapun.

Kean tampak kecewa dengan perbuatanku, tapi aku tetap teguh untuk tidak menceritakannya pada Kean untuk sekarang ini.

Aku menangis dalam diam dan terus membiarkan air mataku mengalir keluar dengan derasnya dari kedua mataku.

Rasanya perih saat menginginkan seseorang yang nyatanya tidak mungkin akan pernah kembali lagi untuk berada disisimu kemudian memelukmu dengan erat dan membuatmu merasakan aman.

Aku ingin berteriak, tapi lidahku terasa begitu kelu.
Aku ingin tidak peduli, tapi kenyataannya aku peduli.
Aku ingin marah, tapi pada siapa?

Aku hanya ingin ayahku kembali dan membuat keadaan membaik seperti dulu, sebelum semuanya terasa asing bagiku.

- - - - -

a/n: lagu yang dinyanyiin Kean di balkon tadi itu Say you won't let go - James Arthur. Jangan baper ya. x

Arsiani
13.11.2016

Jendela RajutWhere stories live. Discover now