10.

36 8 2
                                    

Satu jam yang lalu aku berpisah dengan Ara, dan untuk yang kedua kalinya ia mengantarku hingga aku masuk ke dalam rumahku. Sudah cukup bukti kan kalau Ara itu orang yang—sangat—baik?

Tapi mengapa Kean sangat keras kepala untuk menerima fakta kalau sebenarnya Ara adalah orang baik yang tidak memiliki niat jahat apapun terhadap diriku?

Aneh. Kean sangat aneh.

Ditengah lamunanku, suara ketukan pintu  menyadarkanku. Dan ketika aku membuka pintu kamarku, Ger berdiri di sana masih lengkap dengan seragam sekolahnya serta mata sembab. Tak butuh waktu lama, aku langsung menariknya ke dalam pelukanku. "Kenapa, Ger?" bisikku pelan.

"Ger... kangen... ayah." isaknya pelan. Seketika aku teringat bagaimana saat ayah 'pulang' dari dinasnya di Palestina dengan mobil jenazah. Namun aku sadar, kalau aku tidak boleh sedih saat ini. Ku usap pelan punggung Ger, mencoba untuk membuatnya tenang. "Ssh," bisikku.

"Kita harus kuat," kataku lagi sambil berusaha sekuat mungkin untuk tidak menangis. "Ibun aja kuat, masa kita kalah. Ger kan calon pemimpin keluarga kelak, kamu harus kuat." lanjutku yang mulai menitikkan air mata.

Aku merasakan Ger mengangguk dan sudah tak lagi terisak seperti tadi. "Kakak juga ya," kata Ger pelan. "harus kuat." lanjutnya kemudian melepaskan pelukanku. Aku menatap Ger, dan ia tersenyum padaku, senyum yang sudah lama tidak pernah ku lihat semenjak kepergian ayah.

"Makasih, Kak." katanya sebelum berbalik menuju kamarnya. Dan saat itu aku merasakan haru, sedih, dan rindu yang bersamaan.

Kembali masuk ke dalam kamarku, aku berjalan ke arah balkon, mencoba untuk menyapa tetanggaku. Tapi, setelah berkali-kali membunyikan lonceng balkon kamar Kean, laki-laki itu tak kunjung membuka pintu dan keluar dari kamarnya.

Karena merasa Kean sudah keterlaluan karena bertingkah kekanakan seperti ini, aku memutuskan untuk menemuinya lewat pintu utama rumah keluarga Kusuma lalu meminta penjelasan.

"Eh, Windy, ada apa?" sapa tante Kiki, Ibu Kean. Aku menyalimi tangan beliau kemudian melemparkan senyum kikuk karena sudah lama tak berjumpa seperti ini. "Eng... Kean ada, Tan?" tanyaku.

"Loh? Memangnya Kean nggak kasih tau?" tanya tante Kiki balik yang justru membuat aku semakin bertanya-tanya dalam hati. "Kasih tau apa ya, Tan?"

"Dia pergi ke New York." kata tante Kiki yang nyaris sukses membuat mulutku menganga lebar.

"K-kean? Pergi ke New York?" tanyaku yang mengulang perkataan tante Kiki barusan karena tidak percaya dengan apa yang aku dengar saat ini. "Ayo, Windy, masuk dulu." tante Kiki tidak menjawab, melainkan menarik tangan kananku dan mengajakku untuk masuk ke dalam rumah keluarga Kusuma yang sudah lama tak ku masuki lagi.

Ada jeda di antara aku dan tante Kiki, beliau hanya melihatku dengan tatapan yang tak dapat ku baca. Tante Kiki berdeham pelan setelah itu, "Jadi... Kean pergi semalam." kata tante Kiki yang membuat hatiku yang sedari tadi berdebar kencang semakin bertambah hingga rasanya organ utama di dalam tubuhku ini akan berhenti bekerja dengan semestinya.

"Kean cerita sebelum berangkat sama Tante kalau hubungan di antara kalian berdua semalam sedang tidak baik, tapi Kean tidak cerita karena apa." kata tante Kiki yang membuatku secara tidak sadar meremas tanganku sendiri. "Kean hanya bilang kalau nanti Windy mencari Kean hingga datang ke rumah, Tante harus mengantar kamu ke dalam kamarnya. Kean punya sesuatu di sana yang Tante sendiri tidak tahu apa itu." lanjutnya sambil berdiri, ingin mengantarku ke kamar Kean di lantai dua.

"Kamu boleh cari apa yang kamu butuhkan, Windy. Tante hanya dipesankan itu oleh Kean." beliau hanya berdiri di depan pintu kamar putranya sebelum turun kebawah dan membiarkan aku mencari entah apa di dalam kamar Kean sendiri tanpa rasa curiga.

Aku berjalan masuk dan mulai mengamati seluk-beluk kamar Kean, sahabat sekaligus tetanggaku selama ini. Sudah lama aku tak masuk ke dalam kamar Kean semenjak aku terjatuh saat menyebrangi kayu antar kamar kami berdua hingga membuat tulang kakiku patah dan harus menggunakan kursi roda dan tongkat selama dua bulan beberapa tahun yang lalu.

Tidak banyak yang berubah dari kamar Kean, hanya buku dan beberapa barang yang tampak asing bagiku. Ketika tengah asik mengamati kamar tetanggaku, aku menemukan sebuah kotak biru muda yang pernah aku beli bersama Kean dua tahun yang lalu.

Aku membukanya, dan menemukan sebuah surat bernamakan Windy di atasnya.


- - - - -


Arsiani

25.01.17

Jendela RajutWhere stories live. Discover now