"Henny?" suara lembut menyadarkan Henny bahwa sekarang bukan saatnya memikirkan hal-hal aneh yang ada di pikirannya.

"Selamat Pag,  Ibu," seru Henny dengan senyuman termanisnya walaupun terpaksa.

Henny mengalihkan pandangannya pada lelaki yang berdiri tepat di samping kanan Widya. Wajah itu terlihat menahan tawanya. Henny kembali teringat kejadian semalam dan saat bertemu Rifki, ekspresi Henry persis seperti ekspresi Rifki.

"Maaf Pak, Bu... saya permisi dulu," Henny melipir pergi menjauhi pasangan anak dan ibu itu.

*

"Ma?! Kenapa mama bisa kenal sama bawahan Henry?" tanya Henry benar-benar penasaran.

Henry ingat waktu itu mereka sempat bertemu dengan Henny disebuah pusat pembelanjaan, tapi itu cuma sekedar say hai saja.

"Dih, penasaran niyeee anak, Mama," goda Widya tak langsung menjawab. Ia sangat menyukai ekspresi anaknya seperti ini. Kesal-kesal penasaran.

"Yee, siapa juga yang penasaran," Henry duduk di kursinya dan membuka file-file yang menumpuk di atas mejanya.

"Kemaren Mama ketemu dia di butik, terus ya Mama ajak ngobrol, mukanya ga asing bagi mama. Eh tau nya dia Mantan Anggara,"

Mendengar nama Anggara Henry mendengus tak suka. Karena kejadian semalam. Kalau diingat-ingat lagi ada dua wanita yang menangis semalam. Terlintas sesaat bayang-bayang Henny di ingatannya. Sontak tawanya kembali meledak.

Widya yang melihat tingkah anaknya itu keheranan kenapa tiba-tiba anaknya tertawa. Dia langsung mendekati anaknya dan memegang dahi Henry dengan punggung tangan.

"Mama apa-apaan?" Henry menurunkan tangan mamanya dengan lembut.

"Mama takut anak kesayangan mama jadi gila," jawab Widya ringan.

Terdengar suara ketukan dari luar pintu, Henry tak kunjung menjawab sekali lagi terdengar ketukan. Widya berdiri menuju pintu hendak membukanya

Ceklek... pintu terbuka.

"Issss kamu kok nyebelin, Hen," suara Diva langsung menyambut pagi Henry yang cerah, Diva belum menyadari kehadiran Widya yang berada di belakang pintu.

"Kamu aku telponin dari tadi ngga ngangkat, aku ngga suka!" seru Diva sambil menghentak-hentakkan kakinya.

Widya menutup pintu dan duduk di sofa tanpa sepengetahuan Diva, wanita itu membolak balik majalah yang ada di atas meja. "Tanteeeee!" jerit Diva kaget tak menyangka bahwa Widya ada di ruangan itu.

Dengan cepat nada bicara yang keluar dari mulut Diva menjadi lembut. Widya mengangguk sambil tersenyum dan kembali membolak-balik majalah yang dipegangnya. Diva berjalan mendekati Widya kemudian duduk di sebelah kiri Widya.

"Tante kok tumben ke sini?" suara Diva tak membuat Widya mengalihkan pandangannya dari majalah.

"Tumben?!" Widya membalas dengan sedikit menekan. Henry yang melihat suasana muram antara kedua orang yang disayanginya itu hanya mampu menghela nafas berat.

"Iyakan biasanya Tante ngga pernah ke sini kalau tau Tante mau ke sini tadi bisa bareng sama Diva, Tant,"

"Yang bilang saya tidak pernah siapa? Kalau di kantor tolong profesional, jangan panggil saya Tante. Saya tetap atasan Kalian!" tegas Widya dan menatap Henry dalam-dalam.

Tokkk...tok...

Sekali lagi terdengar ketukan dan kali ini Henry bersyukur siapapun yang mengetuk itu adalah penyelamatnya.

Widya menutup mulutnya sementara Diva kikuk sendiri tak seharusnya dia berkata semaunya ketika ada Widya di ruangan itu.

"Masuk!" teriak Henry sengaja supaya yang mengetuk pintu dapat terdengar jelas.

Henny melangkah ragu karena di dalam ruangan itu Henry tak sendiri. Dia merasa sedikit gugup dan bayangan kejadian semalam masih teringat jelas di otaknya.

"Maaf Pak, ini laporan untuk bulan ini, tadi mas Rifki udah periksa semuanya," suara lembut milik Henny begitu menggoda telinga Widya. Dia yakin wanita seperti Henny adalah wanita yang cocok untuk anaknya. Widya tersenyum penuh arti.

Henry mengambil berkas itu dan dia menatap wajah Henny dalam-dalam. Dalam hitungan detik ketawa Henry pecah kembali, sontak membuat seisi ruangan terkaget melihat tingkah lelaki itu. Muka Henny berubah memerah, malu bercampur marah menjadi satu. Ingin sekali dia menenggelamkan wajahnya kedalam es. Dia yakin seribu persen bahwa yang membuat tertawa atasannya lepas adalah kejadian semalam.

"Maaf saya permisi," ucap Henny tertunduk.

"Eits!! Siapa yang suruh pergi, ini belum selesai saya tandatangani, kamu tunggu dulu," Henry masih tertawa.

Kalau bukan atasannya sudah lama Henny melempar kepala lelaki di hadapannya itu dengan apa pun yang ada di sekitarnya.

'Ya Allah kuatkan Aisyah ya Allah'

"Henny kamu duduk dulu di sini," ucap Widya lagi. Ia melihat kekakuan yang dialami Henny. Henny menoleh dan berjalan dengan hati-hati menuruti perintah Widya.

"Kamu calon menantu yang baik!" kalimat Widya sukses membuat tiga pasang mata melotot menatap Widya tak percaya. Ditambah Diva yang matanya seperti sudah mau keluar.

***

Hello readers yang gue sayangi...

Sory gue kelamaan ya apdetnya, tapi gue sedih masa iya ngga ada yang komen gitu, :(

Gue ngerasa kalian jahat... cukup mantan aja yang jahat ninggalin pas sayang-sayangnya... wkwkwkkw

See in next part yayyy... gomawooo

You're My Propeller (Completed)Where stories live. Discover now