PERMAINAN

828 88 4
                                    

"Bi, entah mengapa sebuah kata 'Mommy' terdengar baik dibandingkan 'Eomma'," kata Luhan lirih tapi masih bisa didengar jelas oleh sang pembantu.

.

.

.

Luhan kini duduk dengan pandangan kosong di ruang TV ditemani sang pembantu yang menatapnya dengan cemas.

"Anda tidak apa-apa, Nona? Siapa yang Anda maksud dengan 'Mommy' itu, Nona?" tanya sang Bibi. Luhan menoleh dengan senyum kecut bertengger di bibir tipis mungilnya.

"Ibu dari Suamiku, ia memintaku memanggilnya Mommy," jelas Luhan. Bibi Kim mengangguk mengerti.

"Tapi tidak baik membandingkan antara Ibu Anda sendiri dengan mertua Anda, Nona, mau bagaimanapun, Nyonya Jaejoong adalah Ibu kandung Anda, dan ia pastilah yang terbaik dibanding yang lain," kata Bibi Kim. Mata Luhan menyendu.

"Seandainya memang benar, Bi, tapi aku merasa bahwa Jaejoong Eomma seperti bukan ibu kandungku dan Sungmin Mommy merupakan Ibu kandungku, maafkan aku Bi, jika aku mengatakan ini," kata Luhan.

"Saya maklum, Nona, semoga setelah ini Nyonya Jaejoong akan bersikap lebih baik kembali, Nona telah melakukan yang terbaik, Nyonya pasti akan mengerti," kata Bibi Kim menenangkan.

'Ah, kalau begitu kau jangan jadi istri pemalas, aku tidak pernah mengajarimu menjadi seorang istri yang tidak berguna untuk suaminya.'

Luhan kembali mengingat ucapan Ibunya tadi. "Memang benar Eomma tidak pernah mengajariku menjadi seorang istri yang tidak berguna untuk suamiku, karena Eomma memang tidak pernah mengajariku apapun selama ini, tidak pernah," ucapnya lirih penuh kesenduan. Bibi Kim tak bisa berkata apapun lagi. Perkataan Nyonyanya tadi memang sudah keterlaluan.

"Bibi, aku akan ke kamarku, jika Sehun kembali nanti, tolong bibi memberitahuku," kata Luhan. Setelahnya ia segera bergegas masuk ke kamarnya, kamar yang tepat di sebelah kamar utama yang dipakai Sehun.

"Baik, Nona," ucap Bibi Kim.

Luhan duduk di pinggir tempat tidurnya dalam diam. Otaknya kembali memutar semua yang terjadi selama ini pada dirinya serta perlakuan kedua orang tuanya yang begitu dingin padanya. Senyum sendu yang sejak tadi bertengger di wajah manisnya kini berumah menjadi dingin. Tatapan terluka itu kini berubah menjadi kosong. Ia berdiri. Berjalan pelan tanpa minat ke arah kaca rias yang tak jauh dari ranjangnya.

Luhan menatap lemat wajah cantiknya di depan kaca. Wajah dingin tanpa ekspresinya terpampang jelas di cermin itu. Setelah lama saling bertatapan dengan wajahnya yang ada di cermin, tiba-tiba ia tersenyum sinis.

"Nde Eomma, selama ini aku selalu menghormatimu, aku selalu menjadikanmu sebagai panutanku, dan aku selalu mengikuti setiap perkataanmu tanpa penolakan sekalipun, tapi kini maafkan aku Eomma, sudah cukup aku diam, mulai detik ini semua adalah permainanku, mulai detik ini akan kubuat semua merasakan apa yang kurasakan, aku akan membuat putramu merasakan penderitaan yang sama, Eomma.... Appa....," desis Luhan pada dirinya sendiri.

"Putramu akan merasakan sesuatu yang lebih menyakitkan dari ini, aku berjanji," desisnya kembali.

Dering telepon mengalihkan pandangan Luhan. Segera dirogohnya tas dan mendekatkan smartphonenya ke telinga.

"Ada apa Oppa?" jawab Luhan.

"Cho Corp. ingin bertemu denganmu, ia memaksa akan menghentikan kerjasama kita jika mereka tidak bisa bertemu denganmu, apa yang harus kulakukan?" jelas Chen di seberang sana.

"Katakan saja kita tidak masalah jika harus menghentikan kerjasama itu, kita tidak memiliki kesalahan yang merugikan mereka dan melanggar kontrak, jika mereka yang akan menghentikan kerjasama, maka merekalah yang akan membayar biaya ganti rugi yang sudah kita sepakati bersama di dalam kontrak kerja," balas Luhan.

MISSINGHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin