Tok tok tok

"Masuk."

Seorang wanita bersetelan rok ketat putih berjalan pelan memasuki ruangnnya. Kepalanya merunduk memberi hormat. Wanita itu adalah sekertaris depan ruangnnya.

"Pak, seseorang dari Amberti Art menghubungi anda. Mereka bilang mau membicarakan kesepakatan anda dengan mereka."

Kerutan-kerutan halus seketika menghias dahinya. Isi kepalanya secara otomatis berpikir namun tak menemukan titik terang.

"Sambungkan teleponnya padaku," ujar Leon yang disahut anggukan oleh sekertarisnya.

Tak berselang lama kepergian sekertatisnya, telepon diruangannya berdering.

"Iya, saya Leon."

"Selamat pagi pak, maaf menggangu waktunya. Saya menelepon ke kantor karna saya tidak memiliki info kontak pribadi anda."

"Sebutkan saja inti permasalahannya."

"Oh iya, maaf terlalu berbasa-basi. Begini, saya sangat merasa kagum pada anda yang dengan berani memarahi kepala penanggung jawab karya karna telah merusak karna istri anda itu sangat keren."

"Apa maksudmu?"

" Oh, maaf bukan itu intinya. Uhuk... Saya mau bertanya, apa anda jadi melakukan donasi untuk pegelaran karya museum? Saat anda dan saya tidak sengaja bertemu disana, anda bilang akan memberikan donasi untuk penggelaran pameran berikutnya."

"Kapan saya mengatakannya? Dan siapa yang saya marahi?"

"Eh, maaf. Apa anda lupa semuanya pak?"

Leon terdiam sejenak. Pikirannya berkecambuk menjadi satu, seolah serpihan puzzel berhamburan diatas kepalanya.

'Apa ini? Kapan aku memarahi orang? Untuk apa aku memarahi orang? Dan kesepakatan apa yang pria ini maksud?' Leon menggumam dalam hati.

Lama berpikir, Leon akhirnya menemukan kemungkinan jawaban yang paling tepat. 'Sial, pasti dia yang sudah mengambil alih tubuhku!' Leon menghentakan kepalan tangannya di atas meja dengan keras.

Kilas balik perkataan pria itu kembali terngiang diatas kepalanya 'Kau bahkan tak akan sadar saat aku mengambil alih dirimu'.

"Permisi, apa anda masih ditempat pak?"

Mendengar gemaan telepon, Leon kembali teringat kalau sambungan teleponnya masih menyambung.

"Hubungi saja sekertaris saya. Dia akan mengurus semua."

Setelah menyelesaikan ucapnnya Leon segera mematikan teleponnya. Sendi-sendinya menegang. Tak ingin gila, Leon memilih pergi meninggalkan ruang kerjanya.

Mobil merah spot kesayangannya nampak berkilau diarea parkir, memonopoli mobil-mobil kecil di sekitarnya. Tanpa berpikir lagi, leon langsung menuju mobilnya.

Leon sesosok pria tua berjalan mendekat padannya. Pak tua itu terus menatapnnya, membuat Leon merasakan ketidaknyamanan.

Ditekannya tombol mobil dan hendak masuk. Namun, sebelum benar-benar masuk kedalam mobil, pria itu bicara, "Ini takdir, kau dan adikmu memang harus berbagi".

Sontak Leon menoleh kearah pria tua itu, namun nihil, pria tua itu sudah hilang seolah sosoknya hanya ilusi semata.

******

Gerakan-gerakan tangan memonopoli wajahnya. Itu adalah tangan Nei yang tengah memeriksa keadaannya. keduanya tengah duduk santai di cafe museum di lantai bawah seraya menyerup kopi dan teh pagi hari. Setelah beberapa hari beristirahat, Ayay sudah merasa cukup untuk kembali ke Amberti Art dan sahabatnya yang autis ini sudah memenuhi wajahnya dengan tangannya yang antara cemas atau tengah menggodannya.

"Syukurlah, kau sepertinya sudah sehatan," yakin Nei setelah makeup Ayay sudah hampir berantakan karnanya.

"Aku sudah mengatakannya, tapi kau tak percaya," kesal Ayay.

"hmmm... kau tadi bilang apa? Oh iya, sikap Leon yang sering berubah-ubahkan."

Ayay mengangguk membenarkan ucapan Nei.

"Ada 2 kemungkinan. Mungkin dia itu kerasukan atau dia punya kepribadian ganda."

"Jangan membuat option sesukamu," kesal Ayay.

"Kau sendiri yang mengatakan kalau dia itu berubah-ubah dan option kemungkinan yang pas itu, menurutku kedua itu. Kalau aku bilang dia Power Ranger karna berubah-ubah baru kau memarahiku."

Ayay membuang muka dari sahabatnya yang mulai bicara tidak jelas. Bukan membantunya menemukan jalan keluar, Nei justru membuatnya pusing.

"Permisi?" tiba-tiba seseorang memecah ketegangan keduanya.

Ayay menungak dan mendapati seorang gadis cantik berambut coklat dengan bola mata hitam pekat tengah tersenyum padanya dan Nei.

"Iya, ada apa?" jawab Nei.

"Begini, saya disini ingin bertemu prof.Roy dibagian penelitian karya seni."

"Oh, kau pasti Krystal yang baru datang dari London itukan? "

"Iya benar. Sepertinya berita disini cepat menyebar," ujar Krystal terkekeh.

"Tidak seperti itu," bantah Nei. "Aku akan menunjukan ruangannya".

"Terima kasih," jawab Krystal.
Nei menyenggol pundak Ayay, "Kau akan ikut?"

Ayay menggeleng, menolak tawaran Nei. Lebih baik dirinya disini seraya menyerup teh hangat beraroma mawar yang menyebar ketenangan daripada bertemu pria tua berkacamata yang bisa saja membentaknya karna bolos mengajar beberapa hari lalu.

Sepeninggalan Nei, Ayay kembali tersudut akan pikirannya. Sebenarnya Ayay tidak terlalu memikirkan perubahan prilaku Leon karna dirinya tau Leon mungkin masih butuh waktu menyesuaikan diri. Tapi ini berbeda, aura Leon hampir seperdetiknya berubah-ubah seolah sedang ada 2 aura yang sedang bertarung.

Memang tidak berdampak besar tapi Ayay bisa merasakan salah satu aura yang semakin menjadi kuat saat Leon membawa wanita malam itu. Aura aneh seperti adanya makhluk halus yang haus akan raga seseorang.

"Apa yang sebenarnya dia sembunyikan dariku?"

Note: ini bukan masalah kepribadianmu tapi ini masalah siapa yang mengendalikan kepribadianmu.

SIDE (YOU)Where stories live. Discover now