Ungu Tanpa Bintang

202 4 0
                                    

"Langitnya ungu," kataku cepat.

Dari reaksinya di telepon, kubayangkan ia tengah mengernyit tak habis pikir. Bagaimana mungkin langit ungu? Memangnya di Indonesia ada aurora borealis? Ia bertanya. Bagaimana mungkin aku tahu apa itu - aurora apa? Pasti ia tak ingat kalau aku payah di bidang Geografi.

"Barusan aku lihat. Tiada bulan, bintang-bintang pun tak muncul. Begitu kosong, gelap. Sepertinya larut malam nanti akan hujan. Tapi kalau kamu perhatikan, sebenarnya warnanya ungu. I love purple," aku reflek tersenyum di kata-kata terakhir yang kuucap.

Yang terjadi sebelumnya adalah, di sesi telepon 3 hari sekali kami yang baru berlangsung lagi setelah lebih dari 3 hari, entah bagaimana kami sampai membicarakan bulan. Dia bilang, Luna - kucingku yang ia namai - semestinya senang, karena full moon akan muncul di daerah tempat tinggalnya, sebuah countryside dekat Viscenza lusa nanti. Luna dalam bahasa Itali berarti bulan. Bagaimana langit di Indonesia? Kubilang, sudah cukup lama aku tak pernah memperhatikan langit. Aku tidak menjelaskan yang ini padanya, tapi akhir-akhir ini aku sedikit terlalu lelah, sehingga sepulang bekerja tak pernah terpikir olehku untuk mendongak ke atas seperti yang biasa kulakukan sekembaliku dari bepergian, di saat berjalan kaki menuju rumah.

Tak bisakah aku mengeceknya sekarang, katanya. Jadi dengan malas aku keluar dan di teras, aku berpapasan dengan Ibuku yang malam itu baru tiba setelah seharian bekerja di kampus. Ia heran, bertanya aku akan pergi ke mana dengan hanya kaus dan celana pendek di jam 9 malam. Aku hanya melewatinya sambil menjawab cepat "Mau liat langit!" sementara Ibuku masuk. Aku sebenarnya penasaran tentang sidang mahasiswa S2 yang dia uji hari ini, tapi ah, itu bisa menunggu. Dan, reaksi pertamaku setelah melihat ke atas adalah tertegun, dan ketertegunan itu seketika berubah menjadi kekecewaan demi mendapati kekosongan langit. Tapi hei, ada kesan unik di sana, yang entah mengapa aku sukai. Warna langitnya..

Oh, begitu. Dia pikir sebentar lagi akhir dunia..

"Dunia belum boleh berakhir dulu," kataku, "karena kita belum menyatu,"

Pfft.. Dia menyembur nyaris tertawa. Aku bikin takut saja, katanya. Dia pikir tadinya aku marah atau apa. Aku nyaris tersulut, heran mengapa ia sering sekali menyangka aku sedang marah. Apakah ia merasa atau memang berbuat salah, tanyaku akhirnya. Yah, siapa tau aku marah pada diriku sendiri, jelasnya tanpa beban, seolah tak pernah berbuat salah. Aku terasa mirip dirinya ketika mendapat nilai ujian 1 poin di bawah nilai sempurna di kampusnya. Aku tentu bukan dirinya, aku tidak sekeras itu pada diriku. Baru hendak kujelaskan bahwa aku hanya sedikit terlalu lelah karena kerjaan lebih padat di kantorku akhir-akhir ini ketika dia menanyakan tentang langit, yang mana menanyakan berarti menyuruhku bangkit dan turun dari ranjang dan keluar rumah. Tapi itu pun tidak berarti aku kesal padanya..

Baru saja aku hendak mengatakan itu semua, ketika ia mengungkapkan kelegaan bahwa ternyata aku tidak marah. Ia mengabaikan dugaannya begitu saja, terbawa oleh perasaan senang mendengarku senang mendapati warna langit. Dan faktanya, aku senang mengetahui bahwa ia senang karena aku senang. Ya, sudahlah.

Aku pamit sebentar untuk memberi makan kucing-kucing kecilku, aku lupa mereka baru makan 2 kali hari ini. Makanan kering untuk Luna dan saudara-saudarinya. Setelah selesai, aku ke kamar lagi dan meneleponnya balik. Dia bertanya, apa kabar mereka.

"Mereka baik, gak seperti aku. Kamu selingkuh terus sih, sama proyek aplikasimu.. Aku kan kang-"

Apakah kamu sakit? Dia malah bertanya dengan serius apa yang terjadi sehingga aku tidak merasa baik. Ya ampun.. Dasar nggak ngeh-an, cuek. Awal kami berhubungan, aku tidak menyangka beginilah karakter aslinya.

Terkadang, di toilet, di meja kerjaku di sisa waktu istirahat makan siang, di kamar mandi ketika sedang mandi, di dalam kereta.. Aku sengaja mengenang pembicaran-pembicaraan kami hanya untuk menemukan ketidakromantisannya yang terkadang mencapai tingkat garing dan membosankan, untuk membuat diriku ilfil dan mengecilkan arti dirinya bagi diriku. Itu memang berhasil membuatku memutar bola mata, sayangnya hanya itu, kemudian ketika menanyakan pada diri sendiri kenapa tidak mengakhirinya saja, mood-ku langsung berubah menjadi mellow. Aku tak bisa.. Entah kenapa, rasanya sayang untuk menyudahi saja apa yang telah berlangsung selama 9 bulan ini, sesuatu yang aku dan dia jalani ini.

Romance Short StoriesWhere stories live. Discover now