1. A Story From Gaza

2.3K 170 18
                                    

A story from Gaza written by annisa_nursita

~ A Story from Gaza ~


"Dilihat berapa kali pun nggak akan berubah Za," ujar Almira setelah menutup pintu kamarnya. Ia duduk di tepi ranjang sambil memerhatikan suaminya yang terlalu serius mengamati bentuk perut di depan cermin. Laki-laki yang diajaknya bicara itu mencibir sebal, sedikit tidak terima dengan pernyataan istrinya barusan.

Sebelumnya Almira tidak pernah menyangka akan bersuamikan Gaza. Gaza sendiri adalah teman Almira saat masih duduk di bangku SMP tingkat kedua. Teman yang duduknya persis di belakang bangku Almira.

Sekitar satu tahun yang lalu, Almira bertemu dengan Gaza di stasiun saat keduanya sama-sama menunggu kereta. Tiga bulan kemudian Gaza mendatangi rumah Almira, meminta izin untuk menikahi Almira pada Papanya.

Almira sudah pasti kaget. Hanya selang tiga bulan mereka dekat--sebagai teman--Gaza berani melamar Almira. Cemas, takut, deg-degan, dan semua perasaan lainnya tumpah ruah jadi satu. Ramai rasanya seperti permen nano-nano. Sekelebat bayangan suami-able yang diidamkan Almira seperti Bastian, aktor di salah satu sitkom televisi, lenyap sudah. Tergantikan oleh sosok Gaza yang ajaib. Tapi ya namanya juga jodoh, 'kan ditangan Tuhan. Almira bisa apa?

Sejujurnya, tidak ada alasan juga bagi Almira untuk tidak menerima lamaran Gaza. Pasalnya, saat Gaza meminta langsung pada Ayah Almira, Gaza sudah mengantongi empat syarat agama. Ditambah kepribadiannya yang baik pada semua orang, terutama pada Uminya.

Almira ingat nasihat Mamanya, "laki-laki yang sayang sama ibunya, Insya Allah akan sayang dengan istrinya."

Gaza jelas masuk dalam daftar laki-laki yang dimaksud Mamanya. Menurut penuturan Umi, saat Gaza butuh recharge energi, orang pertama yang dicari adalah dirinya. Gaza selalu nyaman dipeluk Uminya.

Semua yang ada pada Gaza adalah modal yang sangat cukup untuk menerima pinangannya.

"Padahal udah olahraga tiap minggu, kok masih begini aja ya?" pertanyaan Gaza memecah lamunan Almira. "Pengin kotak-kotak gitu perutnya."

"Yang penting 'kan nggak buncit Za. Lagian mana berubah kalau olahraganya cuma sepedaan doang? Olahraga tuh harusnya tiap hari, bukan tiap minggu." Almira merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Selimutnya ditarik sampai menutup dagu. Posisi tidurnya menyamping, masih memerhatikan suaminya.

Gaza memang hobi bersepeda. Hampir tiap hari Sabtu atau Minggu usai salat subuh, ia mengayuh sepedanya mengelilingi komplek. Itu rute terdekatnya. Rute terjauhnya pernah sampai TMII padahal rumah di daerah Halim. Lumayan menempuh 13 km, kalau pulang-pergi hitungannya jadi 26 km.

"Sembarangan. Aku tiap hari tuh sit up sama push up tahu."

"Kapan? Kok aku nggak pernah lihat?"

"Pagi, pas kamu bikin sarapan."

Malas berdebat dengan suaminya Almira mengalah saja. Matanya dipejamkan meski kantuk belum datang.

Tak lama berselang, Gaza sudah ikut berbaring di sebelah Almira. Refleks Almira membuka mata dan mendapati Gaza tengah menatapnya lembut. Almira bisa melihat betapa hitamnya warna mata Gaza. Cahaya lampu tidur di sisi ranjang sedikit banyak membuat garis-garis iris matanya terlihat.

"Besok kamu yang bersih-bersih ya, Al? Aku ada deadline website jam 11 siang,"pinta Gaza.

"Yakin nih aku yang bersih-bersih? Nggak boleh ngomel lho ya sama hasil karyaku."

Gaza terkekeh kecil, bersih-bersih selalu mengingatkan momen di awal pernikahannya. Gaza suka sebal melihat hasil beberes istrinya. Katanya masih banyak debu yang menempel baik di lantai maupun di perabot rumah tangga. Setiap kali diprotes, wajah istrinya terlihat kusut dan tak jarang diakhiri dengan adegan ngambek. Hidup bersih dan sehat merupakan harga mati bagi Gaza.

MonokromTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang