The Murder and Murderer

18 0 0
                                    

Ruangan kecil itu kini dipenuhi para kuli tinta yang haus berita. Sudah tidak terhitung lagi jumlah blitz kamera menerangi ruangan gelap berbau terpetin dan cat-cat minyak setengah kering itu, berdesakan bersama belasan gulungan kanvas, kaleng-kaleng cat dan berbagai jenis kuas yang berserakan. Prioritas mereka sekarang hanyalah berita yang akan menggemparkan seluruh penjuru kota kecil ini untuk dimuat esok pagi, bahkan mungkin menggema pula ke seluruh penjuru Amerika. Setelah beberapa menit, para wartawan  diminta meninggalkan studio lukis demi kemudahan tim forensik melaksanakan tugas. Tapi masih saja para kolektor berita itu keras kepala, urung meninggalkan lokasi.

"Bisakah kalian membiarkan kami bekerja?!" Steve Morgan berteriak kencang sekali dari muka pintu kayu lapuk studio. Wajah tuanya yang kaku terlihat lelah sampai-sampai kerutan terus bertambah di mata dan keningnya. Rambut coklat kusamnya yang cepak sudah berantakan karena tersapu angin dingin Little Rock di musim gugur. Sungguh, dia sudah benar-benar kesal dengan tingkah para wartawan haus berita yang terus mengobrak-abrik tempat kejadian perkara ini, bahkan mereka tidak mempedulikan para polisi yang sejak tadi ada di sana.

Bentakan Steve membuat para wartawan mundur teratur, meninggalkan studio dengan bermacam jenis gerutuan. Kamera di leher mereka bergoyang-goyang, sementara sebagian yang lain sibuk menulis sambil berjalan.

"Dasar wartawan sialan! Apa mereka buta sampai tidak melihat yellow line?" Steve masih membentak meski kali ini suaranya tidak sekeras sebelumnya. Kalau saja para wartawan itu tidak dilindungi peraturan menyebalkan bernama "undang-undang perlindungan pers", pasti sudah sejak tadi dia tendang bokong mereka. Kelakuan mereka hampir saja menghambat kinerja para polisi.

"Bentakanmu bisa membuat mayat terbangun, Pak Tua. Jadi berhentilah menggerutu," Jack Willow bergumam sambil memotret sang mayat yang terduduk kaku. Kening pemuda itu sedikit berkerut ketika menyadari jas labnya kotor akibat terkena lelehan cat di bawah sepatunya. Untung saja tugasnya sudah hampir selesai, setidaknya dia tidak perlu menghabiskan waktu lebih lama di tempat yang sangat berantakan dan membuat pakaiannya semakin kotor.  Buru-buru dia menyelesaikan tugasnya sambil mencatat beberapa hal penting. "Jadi benarkah si pembunuh sudah tertangkap?" Tanya Jack seraya menaruh catatannya di folder arsip. Mata coklatnya menatap serius si polisi tua di dekat pintu yang masih memandangi mayat.

"Inspektur sudah mengonfirmasinya tadi. Si bedebah itu tidak melawan. Mungkin dia psycopath," Steve berdecak letih. Dengan menatap mata kosong sang mayat yang terbelalak lebar dan terlihat menderita itu, cukup untuk merangsang rasa kasihan dalam diri Steve. Gadis itu tubuhnya pendek, mati dalam keadaan duduk hampir bungkuk dan mata terbuka lebar, sama seperti mulutnya, seolah ikut merasa ngeri atas kematiannya yang mendadak dan tak pernah ia duga--siapa juga yang bisa menduga apakah seseorang akan mati mengenaskan begini atau mati tenang di tempat tidur. Tubuh gadis itu sudah membiru, Jack bilang mungkin dia sudah mati sejak 2-3 hari yang lalu. Di sekeliling mayat berceceran cat maroon kering bagaikan darah. Bau daging busuk bercampur dengan bau terpetin dan cat-cat, membuat studio kecil yang berantakan itu semakin memuakan. Sayang sekali gadis ini tidak langsung ditemukan setelah kematiannya.

Di kota yang seharusnya damai ini masih saja ada pembunuhan menjijikan dan mengenaskan begini. Benar-benar terkutuk, pikir Steve geram.

Setelah Jack selesai dengan tugasnya, gadis yang telah tewas itu diangkut ke rumah sakit, meninggalkan studio lukis yang telah diberi garis kuning bersama raungan sirine ambulance yang kian nyaring, menantang langit menyambut satu nyawa yang dihilangkan paksa.

*****

"Anne Johnson, 21 tahun. Tewas dicekik. Waktu kematiannya diperkirakan pada Selasa, 8 Oktober, antara pukul 5 atau 6 sore. Pembuluh darah di kedua mata pecah, efek dari cekikan di lehernya. Mulut terbuka, kemungkinan karena disumpal oleh kain kanvas selama proses pembunuhan oleh pelaku. Tidak ada luka luar lain selain cekikan di leher. Senjata pembunuhan adalah kain kanvas yang telah disobek ini," David Harold menunjuk barang bukti dengan pena di tangannya. Dia kembali menatap Inspektur Wales yang masih duduk diam di kursi kebesarannya, tercenung menatap berkas-berkas laporan yang dibuat tim forensik dan para anak buahnya. "Mayat ditemukan terkunci di studio. Kunci studio ditemukan di saku jeans korban sendiri. Namun menurut Medison, pemiliki studio Meddley's ArtRock, kunci serep studio milik korban juga dipegang oleh Matthew Cornell, rekan sejawat korban, yang juga merupakan pelaku. Menurut para saksi, korban terlihat bertengkar hebat dengan pelaku di hari kematiannya. Semua orang yang ada di studio itu memang sering melihat tersangka dan korban bertikai karena suatu hal. Intensitas pertengkaran mereka semakin meningkat di minggu terakhir sebelum kematian korban. Kebanyakan disebabkan hal-hal kecil seperti salah membeli cat atau kuas lukis. Itu motif terkuat yang berhasil dihimpun. Bukti bahwa Matt merupakan pelakunya adalah karena sidik jarinya dan korban menempel di kain kanvas tersebut," Lanjut David lagi dan menunjuk foto identifikasi sidik jadi pada kanvas.

Half TruthWhere stories live. Discover now