The Cold One

10 0 0
                                    

Apartemen itu terlalu lowong. Itu pasti yang ada di benak setiap orang kala melihat apartemen Robert Bell. Tempat itu kecil, namun perabotannya yang sedikit membuatnya tampak sangat luas, apalagi dengan dinding berwarna putih dan karpet abu-abu tua. Di ruang tengah hanya ada TV, sofa merah marun usang, meja-meja berlaci tanpa barang di permukaannya, juga hanger jaket dekat pintu. Dapur dan ruang tengah tidak dibatasi apapun, terlihat counter kosong berkursi dan kulkas satu pintu diletakan di sebelahnya, terlalu dekat dengan kompor. Di perbatasan antara kedua ruangan itu ada pintu menuju kamar Rob yang selalu membuatnya harus menunduk setiap kali melewatinya.

Kamarnya juga sama minimalisnya. Hanya ada sebuah tempat tidur, lemari kayu kecil, dan nakas tempat Rob menyusun rapi peralatan tulis dan buku serta jurnal ilmiah. Selebihnya tidak ada lagi benda yang berarti, bahkan dia tidak bersusah payah menambahkan sebingkai foto atau jam di dinding.

Rob menghela napas setelah puas mengamati seluruh penjuru apartemennya. Sudah menjadi kebiasannya meneliti setiap detil yang ada di tempat yang sudah dia tinggali hampir tiga tahun ini. Debu di bawah karpet yang tipis, noda rembesan air di dinding dekat dapur bekas hujan semalam, ceruk di dinding belakang sofa, semuanya sebagaimana mestinya.

Rob memandang sejenak cermin kecil di belakang pintu. Sesosok pria berambut pirang putih disisir pinggir dan bermata biru elang memandang dingin pantulannya sendiri. Penampilannya sudah sempurna--kemeja putih murahan dan celana jeans hitam serta ikat pinggang coklat, dia sudah siap berangkat ke tempat kerja sambilannya pagi ini. Demi apapun, dia tidak akan mau melepaskan tempat tinggalnya ini, meski ancaman dari induk semangnya sudah dilancarkan lebih dari dua kali. Bukan salahnya kalau penampilannya ini memiliki daya pikat tersendiri bagi janda itu, meski dia akhirnya terancam terusir dari apartemennya hanya karena menolak ajakan masuk ke rumah wanita itu. American mindset, orang Inggris sepertinya kalau tidak dianggap musuh, pasti dikira feromon berjalan. Dia sudah terlalu jatuh hati pada tempat ini, sampai-sampai dia harus menambah kerja sambilannya menjadi 30 jam seminggu untuk mempertahankannya.

Dengan langkah tegap dan teratur, dia keluar dari pintu kayu usang yang catnya sudah mengelupas di bagian kenop. Dikuncinya dua kali, dan dia masukan ke saku dalam mantel. Saatnya mencari uang.

*****

"Ini pesanannya."

"Makasih, handsome!"

Rob memandang datar gadis-gadis pelanggannya yang cekikikan tidak jelas setelah menggodanya. Seharusnya dia marah atas tindakan mudi-mudi pengincar lelaki seperti mereka. Bukankah tidak sopan menggoda lelaki tua yang usianya hampir dua kali lipat dari mereka? Tapi ini bukan pertama kalinya Rob diperlakukan seperti ini, jadi dia memutuskan untuk berlalu dan kembali ke pantry.

George memberikan senyuman jahil menyebalkan ketika Rob sampai di depan kasir. Dia bahkan sengaja bertumpu di atas coffee​ machine dengan alis terangkat dua kali.

"Sepertinya fansmu makin banyak, Rob."

Robert hanya diam, tidak menanggapi perkataan pemuda berambut jahe rekan kerjanya itu. Dia menaruh baki dan langsung berjaga di kasir.

"Hei, aku memujimu, tahu. Kau membuat kedai kopi membosankan ini ramai," George berkata dengan antusias.

"Aku dengar itu, George!" Suara seorang wanita menyahut dari pindu di sudut dapur--ruangan untuk manager, membuat George langsung bergidik. "Kalau kau lupa, kedai membosankan inilah yang menggajimu."

"Terima kasih sudah mengingatkan, honey," George terkekeh pelan, membuat Rob mendengus. Semua orang pasti akan menduga George anak SMA--lihat saja gayanya yang kasual dengan jeans, kaos lengan pendek tipis, sneaker, dan rambut coklat jahe berantakan, bahkan cara bicaranya terlalu santai. Tidak ada secuilpun dari dirinya yang menunjukan dia sudah S2 di salah satu universitas Yale.

Hai finito le parti pubblicate.

⏰ Ultimo aggiornamento: Apr 06, 2017 ⏰

Aggiungi questa storia alla tua Biblioteca per ricevere una notifica quando verrà pubblicata la prossima parte!

Half TruthDove le storie prendono vita. Scoprilo ora