Part 3

281 12 0
                                    


Hari sudah mulai larut. Waktu menunjukkan pukul sebelas malam. Bagas turun dari Ninja merah miliknya setelah melepas helm. Saat memasuki rumahnya, sekilas Bagas melirik Pak Erlangga - Papanya - yang tengah membaca koran di ruang keluarga. Bagas tetap cuek tanpa mengucap salam atau pun menyapa Pak Erlangga.

"Dari mana saja kamu?" tanya Pak Erlangga galak.

Bagas yang hendak menaiki tangga, terpaksa menghentikan langkah. "Main," jawabnya cuek tanpa menatap Pak Erlangga.

"Duduk! Papa mau bicara!" perintah Pak Erlangga tegas.

Barulah Bagas membalikkan badannya sembari menatap Papanya malas-malasan. "Besok aja, Pa! Sekarang Bagas mau tidur. Capek!"

Pak Erlangga menatap tajam Bagas dari balik kacamatanya. "Papa bilang, duduk!" perintahnya lagi.

"Ck!" Bagas berdecak kesal, lalu duduk di sofa, tepat di hadapan Pak Erlangga. "Kenapa?"

"Sampai kapan kamu mau berubah, hah? Setiap hari kerjaan kamu keluyuran nggak jelas dan pulang larut malam. Mau jadi apa kamu??" omel Pak Erlangga.

"Kalo Papa cuma mau ceramah, simpan saja ceramahnya buat besok! Hari ini Bagas malas dengar ceramah Papa," kata Bagas, lalu beranjak dari sofa.

"Bagas!! Papa belum selesai bicara!!" bentak Pak Erlangga.

"Pa, sejak kapan sih Papa peduli sama Bagas? Bukannya selama ini Papa selalu sibuk sama pekerjaan Papa? Semua yang Bagas lakuin, ke mana Bagas pergi, Papa nggak pernah peduli!" ucap Bagas marah.

Pak Erlangga meremas koran di tangannya, mencoba menahan emosi yang siap meledak kapan saja.

Karena tidak ada jawaban apapun dari Pak Erlangga, Bagas membalikkan badannya hendak pergi.

"Sabtu malam besok, Papa akan mengundang sahabat Papa untuk makan malam di rumah. Kamu harus ikut serta dalam makan malam itu." Ucapan Pak Erlangga menghentikan langkah Bagas.

Bagas membalikkan badan dan mengangkat alisnya. "Kenapa aku harus ikut?"

"Jelas kamu harus ikut, karena makan malam ini ada hubungannya dengan kamu."

Bagas mengerutkan keningnya. "Maksud Papa?"

Pak Erlangga menghela napas. "Papa berniat akan menjodohkan kamu dengan putri sahabat Papa."

Bagas terperangah mendengar ucapan Pak Erlangga. "Apalagi ini? Papa seenaknya aja menjodohkan aku dengan cewek pilihan Papa?! Aku nggak mau, Pa!"

"Ini yang terbaik untuk kamu, Bagas...," kata Pak Erlangga kemudian.

Bagas tersenyum sinis. "Apa?! Terbaik buat aku?? Memangnya selama ini Papa tahu apa yang terbaik buat aku?? Dan sekarang Papa bersikap seolah-olah tahu apa yang terbaik buat aku?!" Bagas mulai emosi. "Maaf, Pa... aku nggak bisa! Aku udah punya seseorang yang aku cintai. Jadi aku menolak perjodohan ini."

Ekspresi wajah Pak Erlangga mulai marah. "Seseorang yang kamu cintai?? Sama cewek yang mana lagi?? Memangnya kamu pernah serius pacaran sama cewek-cewek kamu itu??" tanya Pak Erlangga emosi. "Yang Papa tahu, kamu sering gonta-ganti cewek dan nggak pernah serius sama mereka. Kamu cuma main-main sama mereka!" lanjut Pak Erlangga, lalu menarik napas. "Kamu sudah besar, Bagas. Kamu nggak bisa bermain-main terus. Kamu harus berubah. Makanya... Papa pikir perjodohan ini yang terbaik buat kamu."

Bagas tersenyum sinis. "Terserah Papa mau bilang apa. Aku tetap menolak perjodohan ini!" ujarnya kemudian. Lalu dia berbalik dan berjalan menaiki tangga meninggalkan Pak Erlangga.

"Papa tidak mau tahu! Kamu harus ikut dalam makan malam besok!" teriak Pak Erlangga, namun diabaikan oleh Bagas.

***

JEBRET!!!

Bagas menutup pintu kamarnya dengan kasar. Dilemparkannya tas ranselnya ke sembarang tempat. Lalu ia menjatuhkan dirinya ke tempat tidur.

Bagas menatap langit-langit kamarnya. Mencoba meredam emosinya saat ini. Dia tak habis pikir dengan Papanya. Kenapa Papanya seenaknya saja akan menjodohkan dia dengan putri sahabatnya? Memangnya ini zaman Siti Nurbaya?

Tiba-tiba suara ponselnya berbunyi. Tanda ada pesan masuk. Bagas merogoh saku celananya untuk mengambil ponsel itu.

From: My Princess

Have a nice dream, my prince... :*

Bagas tersenyum tipis membaca pesan singkat dari Chelsea. Tapi Bagas tak berniat membalasnya. Bukan karena tidak peduli, tapi karena suasana hatinya yang sedang buruk saat ini.

Bagas melihat jam dindingnya. Sudah jam sebelas lewat. Biasanya Bagas selalu menelepon Chelsea walau hanya sekadar untuk mengucapkan selamat malam saja. Atau paling mentok kalau tidak ada pulsa, sebagai gantinya ucapan itu akan dikirimnya melalui SMS. Tapi malam ini Bagas tidak melakukan keduanya. Chelsea pasti sudah menunggunya.

"Maafin gue, Chel...," ucapnya lirih.

Bagas meletakkan ponselnya di meja kecil samping tempat tidurnya. Bagas memejamkan matanya, mencoba untuk melupakan masalah-masalahnya hari ini.

Ms. Perfect & Mr. Jail 2 (Sequel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang