Setelah beberapa saat kemudian, pesanan mereka datang. Revan mencampurkan kecap manis dan sambel ke dalam sotonya, begitu juga Della. Mereka sibuk menikmati soto masing-masing. Sambil makan, mereka juga bercerita. Terutama Revan. Ia bercerita mengenai Kota Bandung, kota di mana ia tumbuh. Mulai dari pemandangan di sana, sampai makanan-makanan yang ada.

"Pokoknya, kalo lo ke Bandung, lo mesti ke pergi ke Jalan Cibadak. Di situ banyak banget jajanan kulinernya. Kalo malem-malem rame gila, gue ampe nggak dapet tempat parkir." Revan mengirup kuah sotonya, kemudian ia melanjutkan, "Kebanyakan sih masakan Chinnese gitu, trus ada swike."

Della melotot. Ia tersenyum lebar. "Swike? Enak nggak?"

"Behh, banget. Apalagi yang goreng pedes asin, kalo nggak yang goreng saus mentega." Revan memasukkan satu daging ayam ke dalam mulutnya.

"Emm, kalo di sini kata bokap gue, makan swike tuh enaknya di daerah Greenville, ada yang jumbo masa," ucap Della setelah menelan makanannya. "Tapi gue belom pernah nyoba, kayaknya sih enak." Della terkekeh sendiri, kemudian menghirup kuah sotonya.

"Emangnya lo demen swike ya?" tanya Revan setelah menghirup satu sendok kuah sotonya.

Della mengangguk. "Emangnya kenapa?"

"Nggak, soalnya kebanyakan temen-temen gue yang cewek nggak demen swike. Katanya mereka jijik. Heran gue. Orang enak gitu masa dibilang jijik," celoteh Revan sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, kemudian kembali menghirup kuah sotonya. "Oh ya, Del. Lo parno-an nggak orangnya?"

Della tampak berpikir sebentar, kemudian ia menjawab, "Iya. Dan biasanya, kalo gue takut dan nggak bisa ditahan lagi, gue nangis."

Revan menaikkan satu alisnya. "Oh ya?"

Della mengangguk. "Sama kalo gue lagi marah, trus gue nggak bisa keluarin emosi gue, gue bisa nangis."

Revan mengangguk paham. "Ngeri juga, ya."

Mereka berbincang hingga mangkuk mereka kosong. Dan setelah selesai makan dan bersantai, mereka melanjutkan perjalanan menggunakan Busway. Mereka turun di Halte Monas, dan kemudian menunggu bus City Tour di halte yang telah disediakan. Ketika bus dua tingkat itu telah sampai, penumpang yang telah menunggu langsung menyerbu masuk. Della dan Revan lalu naik ke lantai dua, agar dapat melihat pemandangan lebih luas, apalagi mereka duduk di barisan paling depan.

Bus yang telah disediakan oleh Pemprov DKI Jakarta itu mulai berjalan mengelilingi pusat ibu kota. Mereka melewati bundaran HI, Monas, GKJ Sarinah, Museum Nasional, Pasar Baru, Gedung Kesenian Jakarta, Masjid Istiqlal, Gereja Katedral, Istana Merdeka, Monas, serta Gedung Balaikota. Di dalam bus juga terdapat fitur audio yang menjelaskan latar belakang tempat-tempat yang mereka lewati itu. Della dan Revan tentu saja menikmati perjalanan itu. Della bahkan kerap kali menunjuk ke luar jendela ketika melihat sesuatu yang menarik, dan menyuruh Revan ikut melihatnya. Mereka jadi penumpang yang paling heboh, dan membuat penumpang lain geleng-geleng kepala.

Biasa, anak muda.

Setelah selesai menjelajahi Kota Jakarta, mereka pun pulang dengan menaiki Busway lagi. Lelah, tapi senang. Itulah yang menggambarkan perasaan mereka berdua. Mereka tidak perlu mengucapkannya agar masing-masing tahu. Cukup dengan melihat sorot binar di mata saja, diri masing-masing juga sudah tahu kalau apa yang telah mereka lalui hari ini telah mengukir sejarah di dalam kehidupan mereka. Yang kelak akan mereka kenang, mereka ingat. Memori itu takkan terlupakan. Khususnya bagi Della. Karena kelelahan, ia akhirnya jatuh terlelap saat berada di Busway, tepat di pundak Revan yang duduk di sampingnya. Cowok itu lantas tersenyum, lalu menyelipkan jemarinya di antara jemari milik Della.

Ia bahagia.

***

Pukul empat sore.

Setelah mengantar Della sampai ke rumah, Revan pamit pulang. Tapi sebelum itu, terjadi percakapan seperti ini:

"Lo kenapa mau ngajak gue jalan-jalan hari ini?" tanya Della sebelum Revan membalikkan badannya pergi.

Revan mengulum bibirnya sebentar. "Karena ...," ia menggantungkan kalimatnya, "gue suka sama lo."

Deg.

Hening sejenak.

Rambut Della yang terurai sebahu berterbangan ditiup angin sore. Kedua matanya menatap Revan dalam, sementara jantungnya berdegup kencang. Telapak tangannya berkeringat, dan pipinya memanas, mungkin sampai memerah.

Tapi beberapa saat kemudian, Revan menunduk, tertawa. "Enggak, gue bercanda."

Jatuhlah Della seketika.

Tiba-tiba saja dadanya terasa nyeri. Tenggorokannya tercekat. Sakit. Entahlah, mungkin karena ia merasa kecewa? Tunggu, mengapa Della harus merasa kecewa? Lagipula kan Della tidak mengharapkan Revan suka padanya. Aneh. Della berusaha membuang perasaan itu jauh-jauh, lalu tertawa kaku.

"Ada-ada aja lo," ujar Della.

"Gue sebenernya mau ngajak lo jalan karena lo bilang lo belum pernah naik angkutan umum. Jadi sekarang, lo nggak perlu takut lagi naik angkutan umum itu. Kalo takut, bayangin gue ada di sana. Di samping lo. Genggam tangan lo, dan nggak bakal biarin lo pergi." Revan tersenyum, lalu mengambil tangan Della dan menggenggamnya. "Kayak gini."

Jantung Della kembali berpacu cepat. Tubuhnya menegang dan telapak tangannya jadi berkeringat, ciri-ciri kalau ia sedang grogi. Cepat-cepat, Della menarik kembali tangannya, lalu mendorong beberapa helai rambutnya ke belakang telinga.

"L-lo nggak pulang? Udah sore," ucap Della sambil mengangkat tangannya, seperti mengusir Revan pergi.

"Lo beneran mau gue pulang?" tanya Revan dengan satu alis yang terangkat kecewa.

Sebenernya enggak. Gue nggak mau lo pulang. Della ingin sekali mengucapkan kata-kata itu, namun baik mulut ataupun otaknya menolak. Ia menyangkal. Menyangkal dirinya sendiri, perasaannya sendiri. Alih-alih dari menjawab kalimat itu, ia malah berkata, "Iya. Udah sana, cepet."

Revan tersenyum, lalu melambaikan tangannya. "Yaudah gue balik dulu ya." Revan kemudian berjalan hingga ke perempatan rumah Della, untuk menemukan ojek di sana.

Sementara itu, Della hanya menatap punggung Revan yang kian lama kian menjauh dengan senyuman di wajahnya.

***

Ketika Della baru saja selesai mandi—tentunya setelah ia mengerjakan semua yang mamanya suruh—suara pintu gerbang yang terbuka membuat Della tersentak. Ia buru-buru menaruh sisir yang sedang ia gunakan, lalu berlari menuruni tangga.

"Mama!" panggil Della semangat. Entahlah, suasanya hatinya sedang baik hari ini. Terima kasih, Revan. "Mama dari mana?"

"Belanja bulanan," sahut mamanya yang sedang mengeluarkan barang belanjaan di atas meja makan,

"Della, Papa ada beliin biji salak kesukaan kamu tuh," ucap papanya sambil berjalan ke arah meja makan dan duduk di kursi.

Senyum Della merekah. "Mana? Beli di mana? Di depan Giant ya?"

Papanya mengangguk. "Iya, tuh buat kamu."

Della bersorak kegirangan, lalu ia duduk di kursi makan, melahap biji salak itu. Tenang, ini bukan benar-benar biji salak. Ini hanyalah bola-bola ubi yang dimasukkan ke dalam kuah gula merah. Makanan favorit Della sepanjang masa. Yang jual juga jarang, jadi sekalinya ada, papanya pasti membelikan. Papanya selalu ingat makanan favorit Della.

Della memakan biji salak itu dengan lahap, lalu tersenyum bahagia.

Hari ini benar-benar hari keberuntungannya!

Januari [SUDAH TERBIT]Where stories live. Discover now