Delapan

24.1K 1.8K 17
                                    

Kamu pernah bertanya, apa bahagiaku? Dan lalu aku menjawab, kalau bahagiaku adalah kamu. Tapi kamu malah pergi, menjauh. Dan di saat itu aku sadar, kalau ternyata kamu juga adalah kelemahanku.

Siliran angin malam menerpa lembut wajah Della ketika ia berada di balkon. Ia kemudian menaruh dua gelas berisi coklat panas—dari Jerman, bos mamanya yang membelikan—di atas meja. Satu untuknya dan satu untuk Eta, yang tengah duduk di kursi kayu sambil menekuk kakinya dan memakai selimut tebal, karena malam ini cukup dingin. Sepertinya akan turun hujan.

Della duduk di samping meja bundar yang menjadi pembatas antara kursinya dengan kursi Eta, lalu mengeratkan jaket yang ia pakai.

Eta yang baru menyadari kehadiran Della lantas menoleh. "Eh, dari mana aja lo?"

"Buatin cokelat panas. Disuruh mama," jawab Della kalem.

"Makasih." Eta tersenyum manis, lalu kembali menatap langit malam.

Della menoleh sebentar ke arah Eta, memperhatikan gadis itu yang sedang sibuk mencari bintang di langit malam. Ia lalu tertawa, menggelengkan kepalanya.

"Nggak bakal ketemu." Eta menoleh ketika Della berkata seperti itu. "Gue juga udah sering nyari, tapi nggak ada. Ya mungkin ada sih ... cuma beberapa doang. Itupun kalo langitnya lagi bersih." Della yang tadinya mendongak ke atas, kembali menoleh ke arah Eta.

Eta tersenyum, menunduk, lalu menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi. Hening sejenak. Hanya suara desauan angin dan jangkrik yang terdengar, mengiringi malam yang tak berbintang. Eta kemudian kembali bersuara.

"Waktu jalannya begitu cepat, Del, nggak kerasa." Eta menatap Della. "Dulu kita masih bisa nemuin bintang dengan mudah, tapi sekarang enggak, dan itu juga karena ulah manusia. Manusia yang menghilangkan, manusia juga yang mencari kembali. Karena keegoisan manusia, alam kita hampir punah. Manusia mendirikan pabrik-pabrik, memakai kendaraan bermotor, memakai pestisida, dan ada juga yang merokok. Semuanya itu mengakibatkan polusi udara, yang pada akhirnya membuat kita tidak dapat menemukan bintang di malam hari, karena langit tertutupi oleh polusi."

Della diam menyimak. Rambut mereka berdua tertiup oleh angin yang sepoi-sepoi.

"Dan banjir ... bukankah itu juga ulah manusia? Kita membuang sampah sembarangan, membuat selokan mampet, sehingga airnya meluap. Lalu ketika hujan datang, selokan tidak lagi dapat menampung airnya, maka terjadilah banjir. Dan ketika banjir sudah terjadi, masyarakat malah komplain ke pemerintah. Nggak masuk akal." Eta menoleh ke arah Della sambil terkekeh, lalu menghela nafasnya. Ia kembali menatap langit.

"Bintang itu ... ibarat kebahagiaan manusia. Setiap manusia tentu ingin bahagia, dan setiap manusia pasti mencari kebahagiaan. Tapi sayangnya, manusia juga yang menghilangkan kebahagiaan itu, dan pada akhirnya kita komplain kepada Tuhan. Bukankah begitu? Bahagia itu mahal harganya, nggak bisa dinikmati oleh sembarang orang, apalagi sama orang yang tidak tahu bersyukur," lanjut Eta.

Della ikut tertawa kecil ketika ia melihat Eta tertawa. Ia lalu menunduk, kemudian mengingat sesuatu. "Oh ya, diminum cokelat panasnya, Ta, tar keburu dingin."

Eta tersenyum, lalu menyeruput cokelat panas itu. Setelah selesai, ia menaruh gelasnya kembali ke meja. "Lo tadi pagi cari gue ke sekolah buat cerita, kan? Lo mau cerita apa? Maaf, tadi gue malah histeris sendiri masalah Revan." Eta terkekeh.

Della terdiam. Revan lagi. Della berusaha membuang nama cowok itu jauh-jauh dari pikirannya, lalu ia mencoba fokus dengan topik yang ingin ia bicarakan.

"Hari ini dia nggak masuk," ucap Della.

Sejenak, Eta sudah tahu siapa 'dia' yang dimaksud Della di sini.

"Sekolah sepi banget rasanya," tutur Della. "Ya meskipun gue tau, mau dia masuk, mau dia nggak masuk, sama aja. Nggak ada yang bisa diubah, kan?"

Eta hanya diam mendengarkan.

"Kenapa sih rasanya susah banget buat ngelepasin? Padahal gue udah nyoba, Ta. Gue udah nyoba buat nggak mikirin dia lagi, tapi nggak bisa." Della tersenyum getir. "Dia tuh kayak makanan favorit gue yang udah basi. Mau dibuang sayang, tapi kalo gue makan malah gue-nya jadi sakit. Bingung."

"Dan menurut gue, cara terbaik adalah membuangnya. Makanan kan masih bisa dibeli lagi, Del. Ngapain lo pertahanin satu makanan favorit lo tapi udah basi? Mending nyari yang baru." Eta menggerutu sendiri. Della jadi terkekeh.

"Ya kalo masih ada yang sama." Della menatap ke langit malam. "Ada banyak bintang di langit, tapi nggak ada satupun yang sama. Manusia juga kayak gitu, kan?"

"Emang sih, nggak ada yang sama. Tapi yang lebih baik? Pasti ada. Ngapain cape-cape pertahanin seseorang yang sama sekali nggak memperjuangkan lo? Kalo dia sayang, dia pasti bertahan, bukannya kabur duluan. Bener nggak?"

Della tersenyum. Selama ini, hanya buku, laptop, dan Eta—serta Tuhan—yang mengerti dirinya. Jika Eta tidak bisa dihubungi, maka pelampiasannya adalah buku atau laptop. Ia akan menuangkan seluruh perasaannya di sana. Ia memang tidak pintar berbicara, merangkai kata, atau mengungkapkan rasa. Ia hanya bisa menulis. Karena dengan menulis, ia merasa hidup. Hanya dengan menulis, ia bisa mengutarakan isi hatinya. Oleh sebab itu, sejak SMP, ia sudah bercita-cita sebagai penulis, berhubung cita-cita Eta adalah sebagai pemain film. Ia yang menulis skenarionya, sementara Eta yang memperagakannya. Mereka selalu saling melengkapi.

"Lo tau nggak, Del, gue kadang suka iri sama lo, yang punya hidup bahagia." Eta menoleh ke arah Della, dan Della juga. "Lo pinter, cantik, punya banyak temen, disukai banyak orang ... ya hampir sama kayak kak Rena lah." Eta terkekeh.

"Jadi lo juga sebenernya iri sama kakak lo sendiri?" tanya Della masih diselingi tawa.

"Ya gitulah, tapi bedanya, dia nggak punya keluarga yang harmonis, kayak lo." Della terdiam ketika mendengar Eta berbicara seperti itu. "Gue selalu suka tinggal di rumah lo. Rasanya hangat. Nggak tau kenapa, gue cuman bisa temuin kebersamaan di rumah lo, bukan di rumah gue, yang bahkan nggak ada damai-damainya sama sekali." Eta meneguk ludahnya susah payah, kembali menghadap lurus ke depan.

"Ta ...," panggil Della.

"Gue pengen sekali-kali gantian hidup sama lo. Gue pengen sekali-kali rasain bagaimana rasanya disayang banyak orang dan dibutuhkan banyak orang. Gue pengen dianggap penting, gue pengen dianggap ada." Mata Eta mulai berkaca-kaca. Suaranya sudah serak.

"Lo penting buat gue, Ta. Lo ada, dan selalu ada, di saat gue terjatuh maupun di saat gue di posisi puncak. Kehadiran lo membawa kebahagiaan bagi semua orang. Lo inget waktu kita SMP? Pas lo nggak masuk sekolah, kelas itu sepi kayak kuburan, karena nggak ada yang ngelawak, nggak ada yang ngehibur kita, bikin kita ketawa. Dan itu lo, Ta. Nggak semua orang bisa kayak lo. Bersyukurlah." Della memegang tangan Eta, dan dibalas oleh gadis itu.

"Ya," Eta mengangguk, "ya, gue harus bersyukur, karena gue punya sahabat kayak lo."

Entah ini sudah malam yang keberapa Eta menginap di rumahnya, tetapi malam-malam sebelumnya, mereka belum pernah membahas topik yang cukup berat, seperti hari ini. Della memang dulu pernah menceritakan kalau waktu dia kecil, sekitar umur empat tahunan, ia terkena penyakit campak. Dan pada malam itu, ia merengek minta dibuatkan panggung boneka. Pada akhirnya, mama dan papanya bekerja sama membuatkannya panggung boneka, sehingga pada pagi harinya, dengan kondisi tubuh yang masih demam, dia meloncat kegirangan sebab menemukan panggung boneka itu di meja belajarnya.

Tapi ia juga mau seperti Eta, yang mempunyai teman-teman hampir di satu wilayah tempat tinggalnya. Kemanapun ia pergi, di manapun ia berada, pasti ada saja orang yang menyapanya atau meminta berkenalan dengannya. Terkadang, Della malu jika jalan-jalan dengan Eta, karena gadis itu tampaknya terkenal di seluruh kota, sementara dirinya yang hanya diketahui satu sekolah saja masih membanggakan diri. Ya, tanpa Eta sadari, ia mempunyai lebih banyak teman dari yang ia kira.

Dan Della adalah salah satunya.

Di malam itu, mereka berdua bersyukur karena telah bertemu dengan satu sama lain.

Januari [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang