Dua

34.8K 2.6K 48
                                    

Luka ini membuatku mengeluh, sebab aku sudah terlalu lama menunggu, dengan sejuta harapan semu, dan meninggalkan bekas yang baru.

Sebenarnya, Della baru saja berdiri selama lima belas menit di depan tiang bendera, tetapi ia sudah merasa tidak betah. Bukannya apa, tapi karena selain kakinya yang keseleo, ia juga harus menahan malu akibat menjadi bahan tontonan siswa-siswi yang berlalu lalang ke ruang guru atau yang lainnya. Sebagai murid yang paling senior di sini, Della tentu saja merasa harga dirinya turun dalam sekejap, apalagi kebanyakan yang melihatnya adalah adik kelas. Hancur sudah reputasi Della.

"Lo sebenernya tau cara hormat nggak, sih?"

Pertanyaan itu sontak membuat Della menoleh ke arah Revan yang berdiri di sampingnya.

"Y-ya taulah! Lo kira gue—" belum selesai Della berbicara, Revan sudah berdiri di belakangnya, lalu membetulkan letak tangan Della.

"Cara hormat itu, lo mesti lurusin telapak tangan lo dulu, jangan bengkok-bengkok, trus lo taroh ujung jari lo di ujung alis," jelas Revan sambil memegang telapak tangan Della, berusaha meluruskan tangan itu.

Tapi, tangan Della terasa kaku dan tidak bisa digerakkan, karena sekujur tubuhnya kini telah menegang. Bagaimana tidak? Tangannya kini sedang dipegang oleh Revan dan posisi cowok itu teramat dekat dengannya, dan membuat dirinya dapat mencium wangi khas Revan dengan mudah. Della bersusah payah menelan ludah, dan ia juga bersusah payah menarik nafas. Jantungnya berdetak tidak karuan sekarang.

"Van, ini kapan selesainya?" tanya Della tanpa menoleh ke arah Revan sama sekali. "Perasaan lo betulin tangan gue lama amat."

"Ya itung-itung kan sekalian modus."

"Palelu modus!" teriak Della sambil menoleh ke arah Revan dan sontak membuat Revan melepaskan tangannya. Tangan Della juga jadi turun ke bawah.

"Yah, jadi lepas, kan," ucap Revan. "Dimarahin bu Lisa baru tau rasa lo, gara-gara kagak hormat."

"Lah," protes Della. "Ini kan salah—" Della baru saja ingin mengomeli cowok itu ketika ia melihat ke sekelilingnya. Banyak pasang mata yang sedang menatapnya sambil berbisik ria terhadap satu sama lain, dan membuat Della jadi risi. "Nggak jadi. Gue nggak enak diliatin anak-anak."

"Cemburu kali mereka, gara-gara liat lo dihukum berdua sama cowok ganteng." Revan mengucapkan kata itu tanpa dosa, tanpa salah, dan sangat polos!

Astaga, ini anak kenapa sih?

Karena tidak mau berurusan lebih lanjut dengan Revan, maka Della memilih untuk diam.

Dan Della benar-benar diam, sampai ia selesai menjalankan hukumannya.

***

Jam istirahat.

Dengan perut yang sudah berdemo minta diisi akibat tenaganya yang terkuras selama menjalani hukuman tadi, Della berjalan menuju ke kantin dan diikuti Revan di belakangnya. Iya! Diikutin! Udah kayak anak ayam sama induknya. Kemana-mana diikutin. Lama-lama Della jadi kesal sendiri, karena merasa diperhatikan oleh anak-anak yang berlalu lalang.

"Lo ngapain coba ngikutin gue terus? Gue bukan emak lo, Revano Putra Ardiansyah." Sejenak, Della terdiam. Ia terkejut dengan apa yang baru saja ia katakan. Ia bahkan hapal dengan nama panjang Revan, padahal ia baru saja bertemu dengan cowok itu hari ini.

Lupakan. Mungkin keajaiban sedang terjadi.

"Gue anak baru di sini, jadi gue belom tau apa-apa. Seharusnya, lo jadi tour guide gue, bukannya malah menganiaya gue kayak gini," jawab Revan sekenanya.

Apa? Menganiaya? Seharusnya gue yang ngomong kayak gitu!

"Terserah lo lah, gue laper, males debat." Dan lalu, Della memesan makanannya di salah satu stan dan membawanya ke meja kantin yang masih kosong. Della lalu melihat ke sekeliling, mencari keberadaan cowok itu, lagi. Namun, hasilnya nihil. Della tidak menemukannya di kantin. Mungkin dia lagi makan di kelas, atau nggak nongkrong sama temen-temennya di warung yang ada di depan sekolah.

Della menghembuskan nafasnya, lalu menatap makanan yang ada di depannya ini. Entah mengapa, Della jadi tidak nafsu makan. Bukan, bukan karena Revan yang sedang duduk di hadapannya jadi bikin Della mual, tetapi, masih ada alasan lain yang membuat Della jadi semangat pergi ke kantin.

Karena Della ingin bertemu dengan dia.

***

Jam pulang.

Di saat semua orang senang karena jam pulang telah tiba, Della malah mendengus kesal. Masalahnya, ia tidak tahu harus pulang naik apa, dikarenakan tadi pagi ia diantar oleh mamanya ke sekolah. Masa, naik angkot? Della belum pernah naik angkutan umum sebelumnya, jadi dia rada-rada takut. Ah, bodolah. Della tidak peduli, yang penting ia bisa selamat sampai di rumah.

Tapi kalau dia sampai nggak selamat gimana? Makin gawat.

Oleh karena itu, Della berusaha mencari tebengan pulang. Siapa tahu ada temannya—yang cewek tentunya—yang membawa motor, jadi ia tidak perlu susah-susah naik angkot. Namun ketika ia baru saja sampai di halte depan sekolah, ia melihat motor yang dinaiki seseorang, melaju kencang, melewati halte bus. Dan, Della kenal jelas motor siapa itu. Della bahkan masih ingat bagaimana ia dulu pernah duduk di atas sana. Bagaimana ia pertama kali ditawari tumpangan untuk pulang, bagaimana ia merasa nyaman, dan bagaimana rasanya ditinggalkan.

Semuanya itu masih terasa, dan masih ada.

Della tersenyum miris, dan memandangi punggung cowok yang telah berlalu itu, semakin lama semakin menjauh.

Dan ketika ia menoleh, ia terkejut, karena mendapatkan Revan sudah berada di sampingnya.

"Mau pulang?" tanya cowok itu.

Della menatap Revan dari atas ke bawah, meragukan ajakan cowok itu untuk pulang bersama. Masalahnya, Della baru kenal Revan hari ini, dan Della belum tahu apa-apa tentang cowok itu. Bagaimana jika nanti di tengah jalan Revan tiba-tiba saja membawanya lari ke hutan untuk dimutilasi, dijual, di—

"Lo ngapain liatin gue?" tanya Revan dan membuyarkan lamunan Della. "Gue tau gue ganteng."

"Geli amat," kata Della dan membuat Revan tertawa.

"Mau pulang, nggak? Udah mulai sepi, loh. Kayak hati gue nih, sepi, nggak ada yang ngisi," ucap Revan sambil menaik-turunkan kedua alisnya.

Ngode, nih? terka Della, namun sedetik kemudian, ia membuang pikiran itu jauh-jauh. Mana mungkin sih, Revan bisa suka padanya, apalagi mereka baru bertemu hari ini.

"Woi, gue nanya, jawab kek. Gue bukan radio yang omongannya cuma lo denger tanpa disahutin," tutur Revan sebal karena Della yang masih diam.

"Ya iyalah, siapa juga yang mau nyautin radio, udah kayak orang bego," celetuk Della.

Revan lantas tertawa. "Kalo gitu lo orang bego, karena udah mau nyautin radio ini." Revan terdiam sebentar dan menatap Della sambil tersenyum. "Udah ah, gue mau pulang dulu. Lo nggak mau pulang, kan?"

"Engg—" Della melihat ke sekelilingnya. Sudah sepi. Karena itu, ia menyingkirkan gengsinya, dan menerima ajakan Revan. "Y-yaudah gue ikut!" dan setelah itu, ia naik ke motor Revan, sementara Revan hanya menyunggingkan senyumnya.

Januari [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang