Part 16

28.5K 3.4K 140
                                    

Priya menjulurkan tangan. Payung dalam genggamannya kini beralih memayungiku. Hujan kembali turun. Setiap tetes membasahi tubuh tegap itu. Ia bisa memilih pergi seperti niatnya semula bukan tetap bergeming dan menatap dengan sorot redup.

"Aku tahu pasti tidak mudah bagimu untuk mengerti alasan di balik kebohongan yang tersimpan selama bertahun-tahun. Tapi bisakah sedikit saja kamu memahami keputusanku? Kita sama-sama terluka oleh keadaan. " Suara semakin lemah. Sesak di dada tak tertahankan. "Salahkah bila aku menginginkan ketenangan di sisa di hidupku?"

Kami saling diam hingga sedetik kemudian Priya tiba-tiba memberikan payungnya begitu saja. Aku belum sempat melayangkan protes saat dengan mudah tubuhku beralih dalam gendongan laki-laki yang berjalan cepat menuju mulut gang. Langkahnya terburu-buru membelah derasnya hujan.

Kepala seketika mendadak kosong sekaligus pusing. Kesadaran akhirnya pulih setelah tubuh berada di bangku penumpang di bagian depan mobil. Priya muncul tidak berapa lama dan menghempas bangku kemudi. Dengan gerakan cepat ia meraih ransel lalu dua mengeluarkan handuk. Salah satunya di sodorkan padaku sementara ia menggunakan handuk lain yang lebih kecil untuk mengeringkan rambutnya.

Air hujan hampir membasahi seluruh tubuhnya. Kemejanya menempel, memperlihatkan dengan jelas otot liat di perut dan tangan.

Kami kembali terdiam, sibuk mengeringkan bagian tubuh yang terkena hujan. Bola mataku melirik sekilas ke arah payung di lantai bagian belakang mobil. Bunyi benda patah samar terdengar sesaat setelah Priya melempar payung itu dengan kasar. Ia bahkan tidak merapikannya.

"Kehidupan terus berjalan selepas kepergianmu. Setiap hari belajar melupakanmu. Sesulit apapun itu, akal sehat dan logika tetap nomor satu. Aku mencoba menerima keputusanmu sebagai takdir. Itu sebabnya, aku tidak melarang diriku untuk mencarimu," ucap Priya sambil mengambil kaus dari dalam ranselnya. Tanpa peduli dengan keberadaanku, ia mengganti pakaiannya yang basah.

"Kehidupan yang kujalani memang jauh dari bayangan tapi bukan juga mimpi buruk. Perpisahan kita mengajarkan pengalaman dalam memandang masalah. Semua rencana untuk masa depan bahkan telah tersusun begitu rapih seperti seharusnya." Priya menyandarkan tubuhnya ke belakang. Matanya terpejam. "Dan, tanpa peringan kamu muncul seperti angin. Bukan hanya sosokmu tetapi kabar yang melatar belakangi perpisahan kita suka tidak suka mengubah semua. Aku sadar, sebesar apapun kemarahan yang tertanam tidak pernah mampu memudarkan perasaan ini padamu. Membayangkan kehilangan dirimu untuk kedua kali rasanya jauh lebih menyakitkan daripada luka yang kamu toreh."

Kami berdua tersakiti oleh cinta. Priya berjuang menata hati yang remuk. Aku sendiri menjalani risiko kehidupan. Pertemuan kami merupakan kado mengejutkan. Kado pahit nan menyedihkan.

"Aku pikir kamu dan Leoni pasangan yang serasi. Dia sepertinya cukup bahagia bersamamu. Terlepas masalah di antara kalian, aku tulus mendoakan kebahagiaan dirimu dan dia."

Priya menyandarkan tubuhnya kebelakang. Matanya terpejam. "Leony gadis yang baik. Berulang kali mencoba meyakinkanku ketulusannya. Aku tidak bisa menyalahkan perbuatannya. Semua itu terkait dengan caraku menjalani hubungan bersamanya. Selama ini aku kurang memperhatikan hingga ia mencari kebahagiaan lain untuk menutupi kekosongan hatinya."

"Kalau begitu selesaikan permasalahan kalian. Aku kira tidak ada lagi yang perlu kita jelaskan." Aku berusaha mengatur intonasi suara agar  aroma kecemburuan tidak tercium.

Kami berdua terpisah oleh jarak. Ada ruang waktu di mana keberadaan perempuan lain telah mengisi hati yang terluka. Perempuan yang seharusnya mendampingi Priya hingga tutup usia. Imajinasi liar tentang kebersamaan keduanya menari-nari di pelupuk mata. Bayangan mencipta sosok keduanya bersanding mesra.

Jika (completed)Where stories live. Discover now