Part 3

38.9K 3.9K 105
                                    

Matahari mulai beranjak tapi diriku masih betah berlama-lama dalam alam mimpi, merasakan hangatnya guling kesayangan dalam balutan selimut. Hm...tunggu sejak kapan gulingnya ukurannya membesar.

Sedikit demi sedikit mataku terbuka, menggeliat pelan dan menatap keadaan disekeliling. Priya tersenyum geli melihatku menatapnya seperti orang bodoh. Dia duduk bersila dengan kedua tangan menopang dagu, menertawakanku dengan pandangannya. "Ber...berhenti melihatku seperti itu. Belum pernah lihat orang bangun tidur ya heh," seruku dengan suara serak, khas bangun tidur.

"Semalam kamu jatuh dari ranjang, sebelum aku membawamu kembali, tanganmu sudah memelukku. Badanku pegal karena tidak bisa bergerak semalaman. Seperti dugaanku, badanmu ternyata berat sekali."

Wajahku merona, memikirkan alasan untuk menutupi rasa malu. Priya masih cengegesan saat kulempar dengan bantal. "Tidak perlu melebih-lebihkan. Apa yang kulakukan tadi di bawah alam sadar tau. Awas ya kalau sampai bilang sama yang lain," gerutuku lalu bangkit keluar dari kamar.

Priya masih tertawa, dia mengikutiku dan memilih membersihkan diri ke kamar mandi. Mimih yang sempat mendengarkan pembicaraan kami di kamar menegur sikapku yang menurutnya kurang sopan.

"Kamu itu perempuan Dama, lembut atau bersikap feminim sedikit saja. Lihat dirimu, rambut berantakan, penampilan acak-acakan, Mimih yakin di mata Priya sekalipun kamu terlihat seperti badut," keluh Mimih saat menyiapkan sarapan.

Aku memperhatikan penampilanku yang memang tidak menarik. "Biar saja Mih, siapapun yang nanti jadi pendamping Dama harus bisa menerima apa adanya. Feminim atau tomboi tidak menjamin jodoh seseorang itu cepat datang."

Mimih menggelengkan kepalanya, wanita paruh baya itu sudah lelah menasehatiku soal penampilan. "Kamu itu selalu saja punya alasan."

"Mulutkan gunanya untuk bicara. Hanya karena Dama tidak sependapat dengan Mimih bukan berarti Dama salah." Tanganku menyuap roti isi yang disiapkan Mimih.

Priya berjalan menghampiri kami dan menarik kursi disebelah Mimih. Dia tampak segar dengan rambut yang masih basah. "Dama, mandi dulu. Kamu masih ada ujiankan hari ini."

Aku mendengus, kesal karena waktu sarapan yang terganggu omelan Mimih. Dengan malas, tubuhku beranjak dari kursi dengan masih mengumam. "Priya, kasih tau Damara. Mimih khawatir dia jadi perawan tua kalau sikapnya masih begitu."

Mataku mendelik pada sahabatku yang berusaha menahan tawa. "Apa liat-liat! sana makan saja."

"Dama," tegur Mimih sambil mendelik ke arahku yang beranjak dari kursi.

Jam hampir menunjukan pukul delapan pagi. Aku masih punya waktu satu jam untuk tiba di kampus. Priya membantu memakaikan helm sementara tanganku sibuk memakai sepatu. Mimih memperhatikan kami berdua tanpa bicara sepatah katapun.

"Pry, pokoknya setengah jam harus sudah ada di kampus ya atau aku nggak mau lagi kasih contekan." Aku memberi isyarat pada Priya sebelum naik ke motornya.

Mimih menjewer kupingku dengan gemas. "Apanya yang setengah jam. Jangan dengarkan anak bandel ini. Kalian masih punya cukup waktu pergi ke kampus."

"Baik Mih. Kami pergi dulu." Priya mengangguk sebelum akhirnya menjalankan motor kesayangannya.

Suasana pagi menjelang siang terasa lebih indah. Angin yang bertiup menyejukan kulit yang terkena panas matahari. Semua terasa menyenangkan kecuali Priya yang memacu motornya dengan kecepatan rendah.

Sahabatku meringis ketika cubitan bertubi-tubi kuarahkan ke pinggangnya. "Lelet amat sih kayak siput."

"Sabar Damar, kita nggak akan telat kok." Priya membalas dengan tenang.

Jika (completed)Where stories live. Discover now