1.

226 13 0
                                    

Ayah meninggal.

Dan setelah malam itu, semua tak lagi sama, begitu juga dengan Ibun, perempuan berumur 45 tahun yang telah melahirkanku dan merawatku selama 18 tahun lamanya.

Kepergian ayahku untuk selama-lamanya telah merubah keluarga dan seisi rumahku. Bukan hanya manusia yang tinggal di dalamnya saja yang berubah, barang-barang sepeninggalan ayahku sedikit demi sedikit berkurang dan keluar dari rumah secara berkala sehingga membuat rumah tampak berbeda.

Aku hanya dapat melihat barang-barang yang sebelumnya tak pernah berpindah bertahun-tahun lamanya dengan pasrah. Ini keputusan Ibun, dan aku tak bisa mengganggunya.

Kini giliran adik laki-laki ku, Ger, yang berubah. Walau cenderung ke arah yang lebih baik, tapi tetap saja adikku berubah. Ia lebih senang menghabisi waktunya di luar rumah dibandingkan harus berdiam diri di dalam rumah. Dulu, saat ayah masih ada, Sabtu dan Minggu Ger selalu menghabiskan waktu  di rumah, menonton film bersama aku dan ayah. Namun, kini ia tak lagi senang berlama-lama di dalam rumah.

Harus ku katakan—lagi kalau keluargaku telah berubah. Dan aku tidak suka akan perubahan itu, terutama kepergian ayahku untuk selama-lamanya.

Enam minggu sudah kepergian ayah, aku tak boleh larut dalam kesedihan, aku harus tetap menjalankan aktivitas seperti biasa. Dan sekarang hari Senin, pukul 12 siang, namun aku hanya tengah berbaring di atas ranjang di dalam kamarku dengan tenang.

Rumahku kosong, hanya ada aku seorang. Ibun tengah bekerja, dan Ger masih berada di sekolah. Aku? Aku kuliah, tapi di rumah, tidak seperti kebanyakan temanku yang pulang-pergi setiap harinya ke kampus. Jangan tanyakan padaku mengapa aku memilih jalan seperti ini. Karena aku sendiri tidak tahu jawabannya.

Ditengah lamunanku, tiba-tiba terdengar suara lonceng dari pintu balkon kamarku yang sudah tak asing lagi bagiku. Dengan semangat aku bangkit dan berjalan menuju balkon kamarku kemudian menyapanya.

Ia sudah pulang.

"Weeeeendie." rajuknya manja dengan senyum tertahan di wajahnya yang merah karena panas matahari. Ia masih menggendong ranselnya di punggung tegapnya, sepatu ketsnya juga masih terpasang sempurna di kedua kakinya. Ia benar-benar baru tiba di rumah.

"Jangan panggil gue kaya gitu, Kean." kataku kesal sambil memposisikan diri untuk duduk di bangku santai yang ku siapkan di balkon kamarku.

"Gue capek, hari ini panas banget!" keluhnya sambil berjalan masuk ke dalam kamarnya untuk melepas jaket dan tas ransel serta sepatu ketsnya. Kemudian ia keluar lagi dengan gitar di tangan kanannya dan langsung mendudukan dirinya di lantai balkon kamarnya.

Kean mulai memetik gitarnya secara perlahan dan mengalunkan lagu secara acak dari mulutnya. Aku hanya memperhatikannya, menikmati alunan lagu yang Kean nyanyikan.

Dari banyak hal yang berubah, hanya Kean yang masih sama seperti dulu. Ia tetap menjadi sahabat terbaikku. Dan aku berharap akan terus seperti itu.

"Kean?" panggilanku membuat laki-laki yang tengah sibuk memetik gitarnya itu berhenti dan mengangkat kepalanya untuk melihatku. Ia bergumam, "Hmm?"

Aku hanya melemparkan senyum kepadanya, dan ia membalasnya kemudian melanjutkan kegiatan yang sebelumnya terhenti sejenak.

"Jangan berubah." harapku dalam hati.

- - - - -

a/n:
* Weeeeendie = Windy (bacanya)

HAI! Gue hadir dengan cerita baru! Ah ini cerita udah kebayang2 di otak gue dan bikin tangan gatel mau merealisasikannya semua, jadi ya.... semoga suka!

Arsiani
11.11.16

Jendela RajutWhere stories live. Discover now