13. Don't run

267 20 2
                                    

You kill the lights
Where else can I go? Where else can I go?

Aku terlalu kalut untuk berpikir atau bahkan melihat secara jernih. Benar bahwa jujur adalah pengakuan terbaik sekalipun itu menyakitkan. Tapi kenapa saat ini aku sangat berharap bahwa pepatah itu adalah salah. Bukankah lebih baik kebenaran itu disembunyikan daripada dikatakan? Aku sendiri tidak keberatan hidup dalam warna abu-abu itu.

"Aduh.." aku mengusap keningku karena sesuatu yang cukup keras sudah menabraknya, baru saja. Jadi aku mendongak untuk memastikan apakah sesuatu yang sudah mengenai keningku ini.

"Hey..." sesuatu yang menabrakku itu rupanya bersuara. Dan aku berani bertaruh, aku mengenal suaranya. "Nadila." Sesuatu yang menabrakku menyebut nama depanku, jadi aku cukup yakin dia pasti mengenalku. Akupun mengusap mataku yang membengkak dan mencoba memperjelas penglihatanku kepada sosok yang ada dihadapannya.

"Ferdian?" sosok yang dihadapanku tersenyum sambil memiringkan kepalanya. Melihat posisi kami sedekat ini aku jadi yakin bahwa yang ku tabrak tadi adalah dada bidangnya itu.

"Kenapa kamu disini?" tanyaku yang lebih mirip rasa penasaran.

"Kenapa? Apa itu pertanyaan umum untuk seorang pengunjung yang sekedar kepingin makan?"

Aku menegakkan kepalaku dan menyingkirkan helaian rambut yang menutup keningku.
"Kepingin makan sampai harus ke Bandung?" tanyaku setengah curiga karena jujur saja aku jadi sedikit khawatir jangan-jangan dia sengaja menguntitku jauh-jauh dari Jakarta hanya untuk menagih perjanjian makan siang itu. Omong-omong sekarang kan jam satu siang. Dan yah... ini masih layak disebut jam makan siang.

Ferdian mencondongkan sedikit kepalanya ke arahku sambil matanya menyipit. "Apa ada aturan yang melarang untuk nggak boleh makan di Bandung?"

Aku mendesah kesal. Ah sudahlah, berdebat dengannya sama saja menambah kacau. Masalahku dengan Elang saja belum selesai bagaimana mungkin aku menambah masalah dengan Ferdian.

"Lupakan..." ucapku tanpa semangat sambil menerobos tubuhnya dan berjalan keluar resto. Aku tidak tahu mau kemana tapi yang aku tau hanya satu: aku tidak boleh berada disini. Maka, tanpa ragu sedikitpun akupun melangkahkan kaki dan syukurlah kaki ini menghantarkanku ke parkiran. Sekarang aku hanya perlu mencari taksi dan pergi entah kemana. Mungkin ke daerah dago adalah solusi terbaik.

Aku terlalu sibuk mencari taksi hingga tidak sadar Ferdian sudah berada dihadapanku. Tubuhku yang hanya setinggi bahunya jika aku memakai sepatu kets seperti ini menyadarkanku bahwa Ferdian sungguh telah menghalangi pemandanganku. Ya ampun, jangan-jangan benar dia menguntitku.

"Kamu nangis?" ia mengamati wajahku lekat-lekat. Ferdian melakukannya tanpa merasa risih. Padahal aku terganggu karena tatapannya itu.

"Bukan urusanmu."

"Menjadi urusanku karena kamu menangis didepanku.." jawabnya serius. Seolah-olah masalahku adalah masalahnya. Padahal dia membuatku menangis saja tidak. Aku tidak bermasalah dengannya.

"Bagusnya kamu menyingkir sekarang karena semenjak kamu berdiri didepanku sudah ada dua taksi yang lewat," kataku kesal. Aku benar-benar perlu berkata sedikit kasar padanya karena aku butuh untuk sendiri saat ini.

Namun bukannya menyingkir, Ferdian malah tetap berada dihadapanku dan masih tetap mengamatiku lekat-lekat.

"Kamu butuh bantuan..."

"Hah?" Aneh. Dia mengigau atau apa.

"Aku bisa bantu kamu."

Aku sudah mulai kesal sekarang. Ferdian si pria paling percaya diri didunia ini sedang berusaha menilai diriku dan yah... meskipun aku memang butuh bantuan tapi bukan dia yang ku perlukan melainkan sopir taksi.

Coming Home Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang