3. Your body is wonderland

305 27 8
                                    

Don't tell someone what they should or shouldn't do
with their body
.
.

Banyak orang mengatakan bahwa setiap kejadian bisa saja menjadi momen berharga dalam hidupmu, jika kelak di kemudian hari kau menyadarinya atau ada suatu kejadian yang mengingatkanmu akan momen tersebut maka semua kejadian yang pernah kau lalui itu pasti terlintas begitu saja dalam ingatanmu bak sebuah film yang sedang diputar.

Aku ingat kapan terakhir kali berkunjung ke warung bu Sri, tepatnya satu bulan lalu. Jangan tanya dengan siapa, karena tentu saja semua ku lakukan sendiri. Farah tak akan mau menemaniku ke tempat ini jika segalanya menyangkut tentang Elang. Katanya, menghabiskan waktu dengan melakukan hal-hal absurd yang berhubungan dengan kerinduan akan Elang adalah hal yang paling sia-sia yang pernah ku lakukan dalam hidup. Aku tak kan pernah menyalahkan Farah atas ketidaksetujuannya akan sikapku, bagaimanapun dia tidak pernah ada di posisiku, jadi bagaimana mungkin aku berharap dia mengerti?

Satu bulan lalu adalah waktu yang paling menguras emosiku. Emosi disini tentu saja bicara soal kerinduanku. Masih ingat soal selai nanas? Ya, itu kejadian satu bulan lalu. Dan soal warung bu Sri, itu juga ku lakukan satu bulan lalu. Tepatnya tiga hari setelah kejadian 'tanpa sengaja membeli selai nanas'. Kalau selai nanas ku lakukan tanpa menyinkronkan pikiran dan perasaan. Tetapi soal warung bu Sri, itu ku lakukan didalam garis kesadaranku. Sepenuhnya aku menyadari bahwa malam itu, tepat satu bulan lalu, aku yang kebetulan lewat warung bu Sri dan dengan bodohnya merindukan Elang dari balik kemudi mobilku, kontan aku mengarahkan mobilku ke arah warung bu Sri. Aku menyadari apa yang ku buat dan aku sangat tidak ingin memerintahkan tanganku untuk membelokkan setir ke arah yang berlawanan dari warung bu Sri.

Satu bulan lalu aku masih sendiri. Menikmati daging ayam empuk bu Sri, menyeruput jus jeruk, mencium aroma ayam penyet sambil melihat kendaraan yang berlalu lalang... semuanya masih ku lakukan sendiri.

Tapi lihat siapa yang ada dihadapanku sekarang?

Orang yang membuatku mendatangi tempat ini satu bulan lalu sekarang justru mewujud dalam penglihatanku. Duduk dihadapanku, dan dengan lahapnya melahap sisa ayam penyetnya yang tinggal sedikit. Peluh mengucur dari dahinya, ia nampak begitu menikmati pedasnya sambal bu Sri bercampur dengan suhu panas Jakarta beserta polusinya. Dia menikmati makanannya tanpa memperdulikan berapa pasang mata wanita melirik ke arahnya. Kan sudah ku katakan, dia terlalu tampan untuk menempatkan dirinya menikmati hidangan di kaki lima. Dan dia terlalu bodoh untuk menyadari bahwa dirinya cukup tampan. Baginya, tidak ada pembedaan kasta wajah untuk makan di kaki lima, semua orang berhak.

"Enak banget, Dil. Di Amerika sih nggak ada yang begini. Eh, keliatan rakus banget ya?" Akhirnya dia mengangkat wajahnya ke arahku sambil membersihkan sisa makanan di jemarinya, membersihkannya dengan lidahnya seperti seorang anak kecil yang dengan nikmatnya menghabiskan sisa makanannya.

Aku menggeleng sambil tersenyum. Dalam beberapa kasus, menjadi rakus itu seksi kalau dilakukan orang yang tepat. Ya maksudnya, kalau orang setampan dan seseksi Elang yang kelihatan rakus sih ya sah-sah saja.

Namun aku tergoda untuk mencelanya sedikit, "Keliatan rakus sih nggak. Tapi... lebih keliatan kayak... apa ya?" Aku mencoba memancing rasa ingin tahunya dengan menggantung kalimatku, berharap dia memiliki selera humor yang bagus. Aku cukup tahu Elang itu siapa dan aku cukup tahu bagaimana kepribadiannya. Selera humornya benar-benar buruk, hidupnya terlalu serius, kelewat idealis dan kritis dalam hal apapun itu. Misalnya soal pekerjaannya yang memang menuntutnya untuk idealis dan kritis atau juga soal makanan.

Coming Home Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang