1. Let the rain

847 40 5
                                    

Let the rain was away, all the pain of yesterday
.
.

Filsuf Chuang Tzu mengatakan: You will always find an answer in the sound of water. Dan sebagai seorang author juga books lover, books addict yang sebagian pengetahuannya diisi dari buku-buku yang pernah dibaca, aku selalu percaya pada apa yang dikatakan Chuang Tzu. Apalagi, ditambah dengan keadaan pagi ini. Hujan yang tanpa permisi mengetuk di jendela kamar, rinainya yang jatuh membasahi bumi, ditambah dengan suara teko yang airnya mendidih, lantas semakin menambah unsur kebenaran dari kata-kata si filsuf itu.

Always find an answer in the sound of water. Kalau saja hujan lebih cepat datangnya, alias satu hari yang lalu, aku pasti tidak akan kesulitan mendefenisikan apa itu hujan. Hujan 10% tanda alam, 90% kenangan. Setidaknya, begitulah aku memaknai hujan selama beberapa tahun belakangan. Dan seperti biasa, suara air yang mendidih dari teko adalah jawaban bagiku untuk segera menyeduh kopi pahit sebagai pelengkap kepahitan--yang selama bertahun-tahun ini ku rasakan.

Tapi, itu kan persepsiku satu hari lalu. Siapa sangka bahwa memaknai hujan saat ini tidak akan pernah sama seperti saat satu hari lalu.

Kalau boleh aku memaknai hujan, kali ini hujanlah yang menahan langkahnya untuk tetap disini. Hujan 10% tanda alam, 90% pelukan hangat.

Aku segera merapatkan kimono tidur dan berjalan menuju dapur kecilku. Ku tinggalkan sosok bertelanjang dada itu dengan hati-hati. Aku sama sekali tak mau mengganggu waktu tidurnya, ku rasa ia masih lelah. Itu nampak jelas dari raut wajahnya yang nampak lelah bahkan saat tertidur, gerak di dadanya yang memperlihatkan naik turun nafasnya juga menunjukkan itu, dia masih perlu istirahat.

Jadi, dengan bertelanjang kaki, aku menuruni kakiku dari ranjang berukuran queen milikku. Melangkah ke dapur kecilku dan berniat membuatkan kopi untuk menyambut pagi ini. Tapi sekali ini berbeda, ini bukan sejenis kopi pahit. Tapi kopi hitam dengan sedikit gula. Akan ku ceritakan padamu nanti mengapa hanya sedikit gula yang ku tambahkan. Ah, kalau kau memang ingin tahu tentunya.

Aku mengaduk-ngaduk kedua gelas kopi secara bergantian searah jarum jam. Berulang kali aku memastikan penglihatanku, tidak salah kan.. ini memang dua gelas kopi dan bukan satu? Ck, siapa sangka, pagiku tidak sesepi biasanya. Dia disini. Dia bersamaku. Dia di apartemenku. He is here. Aku berulang kali menggumamkan itu dalam hatiku sambil sesekali melihat ke dalam kamar tidurku yang tidak ku tutup. Ya, dia disini. Dan aku, tentu saja, tidak bermimpi.

Aku memindahkan kedua cangkir itu ke atas nampan, lalu memindahkan cangkir kopi itu ke atas meja makan yang tidak terlalu besar--hanya cukup untuk dua orang tentunya--menghidangkannya dengan manis dan mulai menyelai beberapa potong roti dengan selai nanas kesukaanya. Sulit dipercaya, aku bahkan mempersiapkan kedatangannya di alam bawah sadarku. Satu bulan lalu, bahkan tanpa permisi dan tanpa aba-aba, tiba-tiba saja jemari tanganku meraih satu toples selai nanas dari etalase minimarket. Aku bahkan tidak menyukai selai nanas. Gerakanku mengikuti naluri kecilku, bahwa aku begitu amat merindukannya, sampai-sampai apa yang menjadi kesukaannya justru ku bawa pulang ke rumah pula. Alih-alih hendak memakannya sebagai pelengkap sarapan pagiku, aku justru menyimpannya didalam lemari kitchen setku dan memilih selai coklat untuk menemani pagiku. Ya, tindakan konyol memang... dan pemborosan.

Tapi siapa sangka, selai nanas itu berguna disaat seperti ini. Aku mulai mensyukuri tingkah konyolku satu bulan lalu. Sambil memikirkan kembali, mungkin saja gerak tanpa sadarku satu bulan lalu adalah naluri untuk menyambut kedatangannya?

Coming Home Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang