The End of Our Story

73K 6.1K 45
                                    

Hancur hatiku mengenang dikau

Menjadi keping-keping setelah kau pergi

Tinggalkan kasih sayang

Yang pernah singgah antara kita

Masihkah ada sayang itu

Aku cinta kau dan dia --Dewa19

"Gue pengen ngomong sama lo." Ucapku akhirnya.

Aku menggapai tangannya dalam genggamanku, meremasnya pelan. Wajahnya berubah pias, ia tampak berpikir sejenak. Sepertinya ia juga tahu akan ada sesuatu yang terjadi.

"Lo tenang aja, habis ini lo bebas lakuin apapun kok." Suaraku benar-benar akan pecah menjadi tangisan.

Fabian mengangguk kaku lalu menarikku berdiri. Kami berjalan menuju salah satu ruang kelas yang kutahu sedang kosong, melewati di pelataran sekolah saat siang ditutup senja. Keremangan lampu yang berjejer tak membuatku merinding ataupun gentar.

Dia menutup pintu perlahan. Aku menyalakan lampu kelas. Aku berdiri merapat ke tembok, menghela napas, mengeluarkannya. Begitu terus. Membikin diriku setenang mungkin.

"Fabian." Panggilku. Ia mendekat padaku. Berdiri dihadapanku.

"Wajah lo kenapa?" Aku menyentuh wajahnya yang babak belur. Ia membuang pandangannya, tidak memberiku akses untuk terlalu lama memandang wajahnya.

"Siapa yang udah ngehajar lo?" Tanyaku ingin tahu.

"Ngapain lo ngajak gue kesini?" Ia balik bertanya.

"Gue khawatir sama lo, tolong ngertiin gue."

"Gue gak butuh." Jawabnya datar. Bau tengik mirip alkohol mampir di indra penciumanku.

"Fabian lo minum alkohol?" Rasa keingintahuanku semakin memuncak. Dibatas akhir yang tak bisa kubendung lagi.

"Bukan urusan lo, Algena!" Kali ini suaranya meninggi.

"Kita putus." Ucapku akhirnya. Cowok dihadapanku ini diam beberapa saat. Ia menunduk tak menatapku.

"Udah gue duga. Lo lebih pilih dia daripada gue." Fabian berteriak di depan wajahku.

"Lo salah Fabian, gue gak punya siapa-siapa yang bakal nunggu gue setelah kita putus. Gak dengan lo. Ada Manda dan banyak gadis yang nungguin lo, yang siap bahagiain lo, yang siap ambil bagian dalam hidup lo. Dan gue rela, karena gue sadar, gue gak ada arti sedikitpun buat lo. Semua yang gue kasih ke lo, bisa lo dapetin dari orang lain. Bahkan mereka ngasih sesuatu yang gak akan bisa gue kasih, mereka punya sesuatu yang gak gue punya." Aku diam melap air mata yang dengan beraninya menampakkan diri. Sialan.

"Tapi semua yang gue buat ke lo itu tulus, gak ada yang bohongan." Lanjutku.

"Jadi lo ngelepasin gue?" Wajahnya nampak, err terluka? Apa dia mulai mengharapkan sesuatu dariku? Tidak, tidak. Siapapun kalau diputusi seperti ini akan terluka.

"Bukan gue yang ngelepasin, Bian. Lo yang minta dilepasin." Jariku menunjuk dadanya. Dia tersenyum miris.

"Lo senangkan udah bebas dari gue? Semoga lo bahagia sama Manda. Oh ya, jangan terlalu pulang larut malam ya, nanti lama-lama lo bisa sakit." Dia masih menatapku dengan raut wajah yang tak bisa diartikan.

"Lo jangan sok terluka kayak gitu deh, lo tenang aja, gue masih siap kok, jadi pembicara buat belain lo di depan bokap lo yang galak itu. Kecuali ya, lo berniat ganti pembicaranya dengan Manda." Kami saling bertatapan lama.

"Terserah lo." Balasnya datar.

Jawaban tanpa perasaan itu membuat luka dihatiku semakin dalam. Aku menghapus lagi air mata yang mulai menetes. Kemudian mendongakkan kepalaku. Aku melepas jaket hitam yang tadi disampirkannya ke tubuhku. Seketika udara dingin menyergapku. AC di ruangan kelas memang tidak pernah dimatikan.

"Nih jaket lo. Gue tahu lo lebih butuhin ini daripada gue. Bentar lagi juga gue pulang terus tidur, beda sama lo. Malam lo masih panjang sama temen-temen lo." Aku memberikan jaket itu padanya.

Perlahan aku mendorong tubuhnya menjauh dariku. Aku pergi dari hadapannya.

***
"Ayo gue antar pulang." Ali sudah berdiri di depanku ketika kakiku menginjak ujung lorong sekolah. Suara Ali diredam oleh nyanyian All I Ask yang menggema dari panggung.

"Lo gak ada acara lagi?"

"Lo lebih penting."

"Gue bawa mobil sendiri," ujarku.

"Gue anter lo pake mobil lo." Ali tetap bersihkuku ingin mengantarku pulang.

Setelah mengatakan itu Ali melepas jaketnya, lalu menyodorkan padaku.

"Gak mau pasti bau keringat." Aku pura-pura jijik.

"Yaelah pake aja kali. Dingin." Ia menempelkan jaketnya di wajahku. Terpaksa aku mengambil jaket tersebut dan mengenakannya. Ali tersenyum miring menggodaku.

"Makanya kalo putus, jangan sok ngembaliin jaket. Makan tuh jaket keringetan gue."

"Kok lo tahu?"

"Satu sekolah juga tahu kali lo ngajak Fabian ke kelas." Ali bantu merapikan jaket yang kukenakan. Dia mengancingkan jaket ditubuhku, mengacak rambutku, lalu membawa tubuh mungilku pergi.

"Lo gak nganter Aurel?"

"Entar gue balik lagi ke sekolah. Ada yang mau dibeli?" tanyanya saat kami sudah diparkiran.

"Gak, gue langsung pulang aja." Balasku seadanya.

Kami berkendara dalam diam. Ali menyetir mobil, sambil memperhatikan ponsel ditangannya. Hal itu sedikit membuatku risih, kalau-kalau terjadi kecelakaan. Tapi kubiarkan saja. Itu urusan Ali dengan Aurel. Mengapa aku tahu Ali sedang membalas pesan Aurel? Karena jika bukan tentang Aurel, Ali pasti memberitahuku.

Kadang aku merasa seperti sahabat yang tak berguna. Ali bisa menyelesaikan semua masalahku, tapi aku sama sekali tak bisa membantu Ali menyelesaikan masalahnya. Hal itu dapat terjadi, karena jika ditelaah, sebenarnya sumber masalah antara Ali dan Aurel adalah diriku. Aurel menyimpan rasa cemburu setiap kali Ali memberi perhatian padaku. Aku tidak ingin bersikap serakah, tapi hanya Ali satu-satunya orang di dunia ini yang paling mengerti diriku. Sehingga tanpa sadar aku sangat membutuhkannya.

"Jangan nangis lagi ya, sampai dirumah." Nada suara Ali jadi melembut. Momen seperti ini jarang terjadi. Aku melihat rumahku yang berdiri kokoh ditaburi cahaya lampu. Dari luar saja rumah ini hangat. Siapapun tak akan menyangka sesunyi apa bangunan ini bagiku.

"Gak janji." Cengiran lebar tergambar diwajahku.

Tanpa kuduga, Ali menarikku ke pelukannya. Dia mengusap kepalaku seperti yang sering ayah lakukan padaku. Ia membisikan kata-kata menguatkan di kepalaku.

Aku akui, aku nyaman berada di dekatnya.


AlgenaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang