"Lantas apa yang ... yang membuatmu lelah?" Aku memberanikan diriku bertanya padanya meskipun suaraku terdengar tersendat. Reaksi yang Seungcheol berikan membuatku tercengang.

"Apakah ada yang terjadi setelah aku sampai kemari dalam keadaan mabuk berat kemarin malam?" Aku tak tahu harus berkata apa. Itu terlalu sulit bagiku untuk mengakui.

Aku hanya menggeleng. Jika aku berkata-kata, aku takut Seungcheol curiga karena terlalu gugup. "Benarkah? Tapi aku merasakan sesuatu yang nyaman yang membuatku bahagia hingga aku berlaku sesuatu, entah menyakiti atau bagaimana aku tak tahu."

Bagaikan disambar petir, aku terdiam. Dia merasakan sesuatu tapi dia tak tahu jika malam itu dia bercinta denganku. Ingin rasanya memberi tahu akan kejadian malam itu, tapi aku terlalu kalut. "Mungkin kau hanya tak sadar karena minum terlalu banyak. Dan kau juga belum memberi tahuku apa yang membuatmu lelah."

"Mungkin saja." Diam. Seungcheol tak melanjutkan perkataannya hingga dia menghela nafas. "Aku membenci Junghwa tapi aku terlalu mencintainya." Sudah kuduga. Dia akan membicarakan sosok Junghwa. Aku tersenyum miris. Tangan kananku mulai membelai lembut punggung Seungcheol, membuatnya menatapku sekilas lalu terpejam kembali.

"Apa yang dia lakukan hingga membuat suamiku membenci wanita yang dicintainya." Aku yakin jika ada ajang pencarian istri paling tegar, akulah orangnya. Perkataanku baru saja membuat hatiku semakin teriris perih.

"Dia mengatakan tak ingin lagi bersamaku. Tapi dia berkata dia sangat mencintaiku. Mana yang harus aku percaya Ahrim?"

"Hatimu."

Seungcheol menatapku tajam. Aku berbalik menatapnya dengan tatapan tenang seorang istri. "Tak ada yang bisa membohongi hatimu."

"Baiklah jika seperti itu, aku akan menuruti hatiku. Bisakah kita kembali ke Korea besok siang?"

Aku menatapnya lekat. "Untuk?"

"Aku ingin menghabiskan bulan madu kita di Pulau Jeju."

"Baiklah jika itu yang kau inginkan."

Seungcheol merapatkan tubuhnya kepadaku, memelukku semakin erat. Andai saja saat ini dia juga mencintaiku, aku akan berbalik memeluknya erat. Membuat tangan kiriku yang bebas yang sedari tadi meremas-remas seprei ini pada kepalanya, memeluknya dan membuatnya nyaman. Membuat Seungcheol tertidur dengan posisi seperti ini. Ini adalah keberapa kalinya Seungcheol labil, dia sering kali marah padaku, sering kali pula bersikap manis yang membuatku semakin mencintainya.

Tak ada percakapan lagi setelahnya. Dia terdiam dan terpejam. Tangan kananku masih membelai lembut punggungnya. Beberapa saat posisi ini membuatku tak nyaman. Dengan perlahan kugoyangkan badan Seungcheol, nafasnya sangat teratur. Dia tertidur. Aku mencoba melepas pelukan yang Seungcheol berikan kepadaku, tapi nihil. Dia justru merapatkan pelukannya dan membuat kepalanya semakin dalam di leher dan dadaku. Aku tersenyum. Senyum ikhlas, aku senang malam ini dia berlari kepadaku. Kutatap lekat wajah tampannya yang terpejam. Dia terlihat sangat polos ketika tertidur. Mata, alis, bulu mata, hidung, bibir, pipi bahkan kening yang dimilikinya sungguh sempurna.

Kuangkat tangan kiriku, menyibakkan rambut pirangnya yang menutupi wajah tampannya. Kuletakkan tangan kiriku tepat di pipi kanannya. Membelainya dengan ibu jariku. "Aku mencintaimu Seungcheol. Selamat tidur." Lalu kuakhiri dengan ciuman lembut nan hangat tepat di keningnya. Aku berlalu untuk tidur. Berpetualang dalam mimpi dan melupakan masalah hari ini.

---

"Mau ku bawakan?" Suara serak Seungcheol membuat fokusku pada koperku terpecah, sedari tadi aku kesusahan membawa dua koper berisi pakaian dan oleh-oleh yang akan kami berikan kepada sanak saudara kami. Aku menatapnya, tersenyum lalu menggeleng. Seungcheol terkekeh lalu mengambil kendali satu koperku. Perbuatan manisnya dini hari ini membuatku sedikit kaget. Meskipun sejak duabelas jam kami di pesawat menuju Korea dia terus saja menenangkanku yang masih sedikit mengalami tekanan. Entah kenapa, aku baru saja menyadari dan merasakan menjadi seorang istri. Kami sudah berada di Bandara Internasional Incheon.

"Kenapa kita tidak langsung menuju Jeju saja?" Aku bertanya dengan polosnya. Seungcheol yang ada didepan menoleh.

"Kita mau ke apartemenku dulu, meletakkan oleh-oleh dan mengganti koper dengan koper yang lebih kecil." Dia melanjutkan perjalanannya, berjalan cepat menuju parkiran dimana sopir pribadi Seungcheol telah menunggu. Belum sampai di parkiran, sebuah mobil BMW warna hitam metalic milik Seungcheol berhenti tepat di depan kami. Dengan bantuan sopirnya, koper kami sudah mendarat di bagasi. Dini hari Korea hari ini terasa indah, bintang-bintang dilangit terasa megah. Bulan sabit lamat-lamat masih terlihat. Embusan angin menerbangkan rambutku kemana-mana.

Beberapa menit di dalam mobil kami hanya terdiam. Aku menoleh kearah Seungcheol yang ada di sebelah kiriku. Dia bersandar dan memejamkan mata. Aku tahu dia sangat lelah. Bukan saja fisik, hati juga. Dia harus menahan amarahnya karena Junghwa. "Kapan kita ke Jeju? Pagi ini atau kau mau istirahat di apartemen dan berangkat besok?"

Mata Seungcheol terbuka. "Pagi ini saja, aku ingin segera membuat pikiranku tenang. Tanpa pikiran tentang Junghwa." Dia menghentikan perkataannya. Bergerak menyandarkan kepalanya dibahuku. "Bersama istriku."

"Kau sedang tidak papa kan Seungcheol?"

Seungcheol menatapku lekat. "Memang kenapa? Kau tak mau berlibur dengan suamimu sendiri?"

Aku menggelengkan kepalaku. Takut jika Seungcheol justru marah dengan pertanyaanku. "Tidak. Aku justru lebih senang."

"Benarkah?" Seungcheol kembali menyandarkan kepalanya padaku lagi. "Baiklah kita bisa bebas melakukan apapun disana."

Soft Of VoiceNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ