Not Simple

76.5K 5.9K 14
                                    

spin off Manda bsa dibaca di Karya Karsa GRATIS dgn judul novel ALGENA! Spin off gak bakal ada di wp tpi gak mempengaruhi isi cerita ya, cuma tambahan adegan aja, Cek profil aku ya lebih jelasnya.

https://karyakarsa.com/LoisMILM/spin-off-manda-1

Tersedia juga Algena part :

- Algena part 8 9 10 (3 part setelah ini)
- Algena part 10-15

***

Kedatangan Avan malah membuatku menjadi orang sibuk. Bunda menyampaikan kesenangannya karena setelah sekian lama, akhirnya aku mempunyai teman lain selain Ali.

Bunda menceritakan tentang gaya hidupku yang sangat simple bahkan terkesan seperti laki-laki. Tapi dari nadanya, aku curiga sebenarnya dia sedang menceritakan atau malah menghina. Sudah kubilang belum; AKU BENCI DIBANDINGKAN DENGAN MANDA.

Mereka terus bercerita dan aku duduk berhadapan dengan mereka seperti orang bego. Akhirnya bunda menyuruhku menemani Avan menuju kamar Manda, karena kakak tiriku itu belum juga keluar dari kamarnya.

"Setelah Avan ketemu Manda, kamu turun lagi, ambilin minum buat Avan." Ucap bunda sebelum aku dan Avan menaiki tangga lantai dua.

"Udah lah, lo gak usah pura-pura gak tahu kamar Manda. Gue tahu setiap siang lo nganter Manda lo pasti diajak kesini kan? Dasar munafik." Aku mengatai Avan yang masih terus mengikuti langkahku seolah baru pertama kali kesini.

Aku masuk ke dalam kamar Manda tanpa mengetuk. Lihatlah betapa tidak tahu sopan santunnya diriku. Manda sedang tertidur memunggungi kami dengan selimut menutupi bagian pinggangnya kebawah.

Aku mendekati Manda, dan memberi isyarat pada Avan untuk tetap di luar. Walaupun aku membenci Manda, tapi aku masih menghargai privasinya di depan seseorang yang jelas berbeda jenis kelamin dari kami.

"Hei pemalas!" Ucapku lebih seperti bisikan agar tak didengar Avan.

"Ngapain lo disini! Jangan narik selimut gue bego!" Marahnya padaku. Aku memang menarik selimutnya sampai sebagian rok seragamnya tersingkap.

"Noh ada cowok lo!" Mendengar ucapanku, Manda langsung bangkit dari tidurnya. Lihatlah wajah pucat dan kucel saudara tiriku ini. Belum lagi rambutnya yang berantakkan. Ia pasti akan sangat malu saat ini.

Aku tertawa puas dalam hati, lalu keluar dari kamar Manda menuju dapur. Memberikan mereka ruang untuk berkela-- ehm maksudku berdua. Aku bersenandung ria.

"Bi, kalau Avan kesini biasanya bibi disuruh buatin apa?"
"Kalau Avan kesini, dia sering dikasih green sand." Ucap bibi pembantuku.

"Siapa yang ngasih? Minuman itu cuma buat aku konsumsi sendiri gak ada untuk tamu. Pantes sering habis, padahal aku jarang minum loh."

Aku memang membatasi diriku untuk tidak keseringan meminum minuman berkaleng itu. Aku tidak ingin hanya karena minum green sand, banyak penyakit tak terduga yang bersarang ditubuhku. Sebagai generasi muda, hidup sehat itu sangat penting.

Walaupun marah karena mereka menghabiskan green sand--ku beli dengan uang jajanku, sendiri tanpa ijin, aku tetap mangambil sekaleng green sand dari dalam kulkas untuk Avan. Bibi tak menanggapi ucapanku, hanya menunduk dan melanjutkan kerjanya.

Bibi yang bertingkah macam begini membuatku tahu, Manda yang sudah memberikan green sand ini pada Avan. Bibi takut akan terjadi pertengkaran antara aku dan Manda jika ia memberitahu kalau Mandalah pelakunya.

"Bi aku ke atas dulu." Ucapku lalu berlalu ke kamar Manda.

Aku mendekati kamar Manda. Pintu kamarnya terbuka lebar. Aku melongokan kepalaku ke dalam. Kulihat mereka sedang berpelukan mesra sambil duduk di pinggir tempat tidur. Tangan Avan mengusap kepala Manda sayang.

Sekali melihat saja aku tahu, betapa besar Avan menyayangi Manda. Kenapa harus ada Fabian di tengah hubungan mereka. Apakah dengan aku memutuskan Fabian, maka hubungan Avan dengan Manda pun berakhir?

"Ehemm." Aku berdehem agar mereka menyadari keberadaanku. Pelukan mereka pun terlepas perlahan.

"Lo minum aja dulu sama Gena, gue mau tidur." Ucap Manda. Tangannya menarik selimut agar menutupi pinggangnya lagi.

"Yaudah, nanti telpon ya kalau lo udah bangun." Avan mengusap kepala Manda.

Kemudian dia keluar bersamaku menuju ruang baca yang langsung tersambung dengan balkon lantai dua. Avan minum dalam diam. Sama sepertiku. Aku tak ingin mengajaknya bicara. Tidak penting.

***

Dua hari sudah aku menghindari makhluk bernama Fabian. Setiap diajak bertemu, bicara atau pulang aku selalu menolak dengan alasan sibuk mengurusi ulang tahun sekolah yang hari ini dirayakan.

Aku bukan OSIS bukan juga panitia, namun aku ditarik secara paksa oleh anak-anak sekelas agar mau mengurusi dekorasi panggung. Belakangan baruku tahu. Penyebab aku harus mengurusi dekorasi adalah Ali. Sahabatku itu mengancam tak akan mau tampil bernyanyi di panggung kalau aku tak masuk dalam kepanitiaan. Ali memang cukup berkuasa di sekolahku.

Itu adalah salah satu taktiknya agar aku menjauh dari Fabian. Dan ya, dia berhasil. Hari itu, setelah selesai mengurusi dekorasi aku kembali ke rumah untuk makan, tidur barang satu jam, lalu mandi dan bersiap untuk acara yang akan diadakan pada sore nanti. Waktu aku keluar dari kamarku, aku berpapasan dengan Manda yang tampak cantik mengenakan blus setengah lengannya.

Kami saling membuang pandangan satu sama lain. Di lantai bawah ada Avan yang sedang memainkan ponselnya. Aku melengokkan tubuhku di depannya tanpa berniat menyapa.

Avan akan berangkat bersama Manda, yang berarti aku memegang kekuasaan penuh atas mobil kami. Aku menyalakan mesin mobil. Sebelum menancap gas, aku memutar lagu Shot me down milik Skylr ft David Gueta. Bibirku ikut bernyanyi sambil memukul-mukul stir mobil persis orang gila.

Beberapa menit aku menyetir akhirnya tiba juga di sekolahku. Aku menuju ke panitia yang berjaga di gerbang masuk bagian kanan. Di situ aku memperlihatkan kartu tanda pengenal sebagai panitia yang direkrut secara paksa dua hari lalu. Sedangkan beberapa orang yang berjaga di gerbang kiri khusus untuk memeriksa tiket masuk bagi mereka yang bukan warga sekolahan. Mereka juga memeriksa tas hitam yang kubawa, memastikan tak ada barang berbahaya yang haram dibawa ke lingkungan sekolah.

Aku mendapat pesan dari Ali bahwa laki-laki itu menungguku di back stage. Tanpa membalas pesannya aku segera melangkah menuju back stage. Disana ada Ali yang sedang makan nasi kotak bersama anggota bandnya.

"Eh lo, sini gak." Teriak Nathan, ketua panitia di bidangku.
"Sialan lu, li. Lo yang manggung gue yang repot. Awas lo, tunggu pembalasan gue." Ancamku pada Ali. Ali membalas dengan cengiran menyebalkan.

"Tugas lo masih banyak. Gak usah ngurusin bintang tamu kita. Sana bantuin Mera." Nathan si tukang marah-marah membentakku. Aku membantu Mera dengan hati yang tidak iklas. Beberapa kali ia mengajakku bicara, malah aku abaikan.

Sedangkan Nathan si tukang marah-marah itu malah bertambah  sangar mirip monster, saat acara hampir dimulai dan pekerjaan kami belum juga selesai.

Pembawa acara malam ini sudah mulai memasuki panggung, dan panitia masih saja sibuk dibalik tirai. Dua host itu mengoceh tanpa ampun, mengumpulkan semangat semua orang yang hadir malam itu. Sebagai pembuka acara, Band milik Ali akan tampil dahulu untuk menyanyikan Mars sekolah kami.

Setelah sambutan dari kepala sekolah dan ketua panitia, acara malam ini secara resmi dibuka dengan pemukulan gong sebanyak tiga kali oleh kepala sekolah.

Aku duduk di samping panggung bersama Mera sambil menonton penampilan Ali di panggung. Mera mengajakku mencari minuman di stand-stand sepanjang basement dan lapangan basket, namun aku menolak. Akibatnya aku duduk sendiri sambil menunggu pesan dari err Fabian muncul di ponselku.

Seseorang datang menyampirkan jaket di tubuhku. Aku tahu, tangan siapa ini.

"Fabian?" Aku mendongak melihat wajahnya. Setelah mengucapkan namanya, aku tahu sesuatu pasti sedang menunggu untuk terjadi.

"Ngapain duduk sendirian disini?" Ucapnya lembut. Aku merasa ada yang aneh darinya. Kenapa wajahnya babak belur?

AlgenaWhere stories live. Discover now