08 ~ I Can't believe you

Mulai dari awal
                                    

Pintu rumah terlihatlah sosok Nisa keluar dari pintu tersebut.
"Andrew, Fany? Kalian ngapain?" tanya Nisa.
"Ada yang ingin kami bicarakan sama lo," ujar Andrew cepat.
"Yaudah, ayo masuk dulu."

Sesampainya di dalam rumah Nisa langsung mempersilahkan kami duduk.
"Nis, sekarang coba jelaskan kesalahpaham kita kemarin."
"Kesalahpaham yang mana?"

"Yang lo nyatain perasaan ke gue."
Wajah Nisa berubah berseri-seri entah mengapa.
"Oo yang itu, gue senang banget lo masih ngungkit itu, lo terima gue kan dan kemarin lo udah janji untuk putus sama Fany."

Perkataan Nisa bagai bongkahan batu besar yang menimpa gue.
"Ooo jadi begitu, berarti gak ada kesalahpaham selama ini," ujar Tiffany naik pitam.
"Nis gue kan nolak lo kemarin," ujar gue membela diri.

"Drew kok lo ngomong gitu sih." Wajah Nisa menunjukkan bahwa ia tersinggung.
"Tapi memang benar kan?"
Nisa mulai menitikkan air mata,"kok lo tega banget sih," ujarnya seraya terisak.

"Fan, lo haru dengerin penjelasan gue dulu."
"Sepertinya gak ada lagi yang perlu dijelasin."
Fany langsung berdiri dan meninggalkan ruang tamu.
Gue mencoba mengejar Fany namun tiba-tiba Nisa menahan gue.

"Drew gue mohon jangan tinggalin gue." Tatapan Nisa yang sendu membuat gue tetap tinggal.
Gue sendiri belum tau kenapa gue gak mengejar Fany.

Tiffany pov

Setelah mendengar pernyataan dari Anissa gue langsung keluar dari rumah itu.
Gue benar-benar gak tahan, tega sekali Andrew bohong sama gue.
Jelas-jelas tadi Anissa sendiri yang bilang bahwa mereka jadian.

Apa gue segitu bodohnya sampai-sampai gue mau aja dengerin penjelasannya kemarin.
Cukup sudah, rasanya sulit sekali untuk mempercayai cerita Andrew kemarin.
Gue menyetop taksi yang kebetulan lewat.

Lihat dia bahkan gak ngejar gue.
Huh, memang seharusnya gue gak jatuh dalam perangkap itu untuk kedua kalinya.
Bodohnya gue.

***

Author pov

Sesampainya di apartemen Andrew mengurung diri di kamarnya.
Apa memang benar Nisa yang melakukan semuanya?
Sekarang puzzle yang sudah lama terkubur kembali bangkit.

"Gue gak tau lagi harus berbuat apa."
Andrew benar-benar frustasi.
Ia tidak tahu jika Anissa akan berbohong pada Tiffany.
Awalnya ia benar-benar mempercayai Anissa sebagai sahabatnya.

Andrew langsung mengubungi Nathan dan Rian untuk membicarakan masalah ini.

*Line*
Andrew : Guys
Nathan : Hm... tumben lo ngechat kita
Andrew : Gue ada kabar serius
Rian : Kabar apa?
Andrew : Kayaknya hipotesa kalian betul kemarin
Nathan : Hah? Hipotesa yang mana?
Andrew : Tentang Anissa
Rian : Sudah gue duga
Andrew : Anissa bohong ke Fany, dia bilang kalo gue sama dia jadian
Rian : Huh! Murahan
Nathan : Walaupun dia cewek gue harus bilang kalo dia itu brengsek
Rian : Wanita ular berkepala dua
Nathan : Ternyata lo marah juga yan
Andrew : Gue sudah berusaha buat jelasin ke Fany tapi hasilnya nihil
Rian : Gue otw ke rumah lo
Nathan : Gue otw ke rumah lo (2)
*Off*

Beberapa menit kemudian, deru motor terdengar di depan rumah Andrew.
Asisten rumah tangga di rumah Andrew langsung membukakan pintu.
"Halo bro."
Nathan dan Rian memasuki kamar Andrew.

Saat ini Andrew memang memutuskan untuk sementara akan tinggal di rumah orang tuanya.
Entah apa yang akan dia lakukan bila ia berada di apartemen sekarang.
"Yeah," jawab Andrew lesu.
"Jadi, menurut kalian gimana?"

"Simple, lo cari bukti atau lo paksa dia buat buka mulut." Kata-kata Rian terdengar sangat kejam bagi Andrew.
"Gila yan sadis banget lo," celetuk Nathan.
Rian hanya memutar bola matanya malas.

"Tapi, kalo menurut gue kira selidiki secara diam-diam aja nanti kalo Anissa tau dia pasti langsung mencari antisipasi."
"Kayaknya saran Nathan patut dicoba," ujar Andrew akhirnya.
Nathan menatap Rian dengan wajah bangga.

"Apa yang harus kita selidiki duluan?"
Nathan dan Rian tampak berpikir apa yang harus mereka lakukan.
"Mungkin kita harus memancing dia?"
"Mancing gimana?" tanya Andrew bingung.

"Kita harus membuat dia marah supaya dia tergerak untuk melukai Fany." Rian menjelaskan idenya lebih detail.
"Kayaknya boleh juga ide lo," puji Nathan.
"Tapi apa yang membuat dia marah?"

Rian mengambil tas punggungnya dan merogoh sesuatu.
Ternyata Rian mengambil hpnya dark dalam tas.
Ia tampak sedang membuka sesuatu di dalam hpnya.
Setelah selesai Rian menyuruh Andrew dan Nathan untuk merapat.

Ia menunjukkan sebuah foto yang ada di dalam galerinya.
"Sebuah foto bersejarah yang mampu meluluh lantakkan hati seseorang."
"Ya, lo benar bahkan hanya karena sebuah foto seseorang nekat untuk berbuat lebih."
Tiba-tiba Andrew menolehkan kepalanya ke sudut ruangan.

"Sebaiknya sekarang lo keluar dari tempat persembunyian itu atau gue sendiri yang bakal nyeret lo keluar!"
Kata-kata Andrew sontak membuat Nathan dan Rian bingung.
Siapa sebenarnya yang sedang bersembunyi di kamar Andrew.

Hai, maaf ya telat
Alasannya klise banget karena gue kehabisa stok ide 🙏
Sorryyy...
Semoga kalian suka ya dengan paet barunya

Sinta_yass
1 November 2016
Palembang

My Lovely Husband [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang