Last Christmas (Krismas Special Edition)

113 4 3
                                    

Seorang pria tampan berdiri membelakangiku. Aku memang tak dapat melihat wajahnya, namun di bagian belakang kepalaku, aku tahu kalau dia itu tampan. Kelewat tampan malah. Aku tak tahu siapa dia, tapi bahunya yang lebar dan tampak tegap, mengingatkanku pada kecelakaan yang merenggut nyawa papa yang sangat aku sayangi, juga memoriku. Kurasa hanya sebagiannya saja, karena aku masih bisa mengingat identitasku, tapi menurut teman-temanku dan dokter, aku kehilangan sebagian besar memoriku.

Gelas kertas berisi campuran yang mengandung kafein di tanganku mulai bergetar. Tidak, bukan tanah yang bergetar melainkan tubuhku yang gemetaran. Aku menarik napas, berusaha menenangkan diriku sendiri. Memang inilah hal yang biasa terjadi bila ada memori yang memaksa, mendobrak ke atas, berusaha untuk diingat lagi. Tapi otakku kosong. Aku tak tahu perasaan apa ini. Biasanya yang terjadi sekarang adalah kumpulan kilas balik berbagai peristiwa berseliweran di kepalaku, tapi kini tak ada apa-apa, hampa.

Pria itu membalikan tubuhnya untuk mencari tempat duduk atau mungkin keluar dari kedai kopi mungil itu setelah mencampurkan larutan kafeinnya dengan gula atau krimer atau mungkin yang lainnya. Aku tak tahu bagaimana harus menggambarkan ekspresinya, tapi dia tampak kaget. Itu yang aku tahu. Wajahnya yang ternyata benar-benar tampan itu pucat pasi. Aku berusaha untuk tersenyum, namun yang muncul hanyalah seulas senyum canggung.

“Anda tidak apa-apa, Pak?” tanyaku, rasa khawatir mulai merambati diriku. Khawatir akan keadaan pria di hadapanku yang kemungkinan besar bisa kehilangan kesadaraannya kapan saja. Juga akan keadaanku sendiri yang tak lebih baik. Tubuhku masih gemetaran hebat, dan kepalaku pening luar biasa. Yang terburuk adalah, adanya suatu dorongan dari dalam diriku yang sangat kuat untuk memeluk pria di hadapanku dan menangis di dadanya. Demi Tuhan, aku bahkan tak mengenalnya.

Setelah beberapa detik berlalu, keadaan pria itu tak begitu membaik, namun ia sudah tak tampak limbung. “Ya, saya tidak apa-apa. Maaf, saya permisi,” katanya sambil tersenyum yang aku yakin sudah membutakan mataku, hanya saja kemudian aku bisa melihat lagi. Aku menggeser tubuhku sedikit, memberi jalan. Kuulaskan lagi senyum dengan harapan dia akan melihat dan memperhatikannya. Saat ia melewatiku, entah dengan keberanian dari mana, aku menahan lengannya, rasanya begitu pas. Seakan aku sudah melakukannya ribuan kali. “Anda yakin Anda baik-baik saja, Pak?” tanyaku sekali lagi.

Kali ini dia menganggukan kepalanya sedikit, “Ya, saya baik. Permisi, saya harus pergi sekarang.” Kemudian dia membuka pintu kaca dan berjalan menjauhi kedai kopi mungil itu, bertarung dengan dinginnya udara musim dingin di luar sana.

Kugelengkan kepalaku dan melangkah maju, mencampurkan larutan kafeinku dengan dua bungkus gula dan dua bungkus krimer, kemudian tersenyum menyesal kepada pengunjung kedai kopi lainnya yang mengantre untuk gula dan krimer sejak tadi. Beruntung sekali mereka mengerti. Aku membuka pintu kaca dan keluar.

Kakiku menginjak lapisan salju putih yang tampak lembut. Angin dingin menusuk sekujur tubuhku. Kurapatkan mantelku dan terus berjalan, sesekali menyeruput larutan kafein itu. Yang kuinginkan sekarang hanya mencapai apartemenku di Upper East High dan bergelung di balik selimutku yang nyaman.

“Kau benar-benar tak mengingatku?” sebuah suara mengejutkanku. Aku menoleh dan menemukan pria yang tadi. Suaranya mengingatkanku pada rumah, hangat dan aman serta nyaman.

Tapi kemudian pertanyaannya selesai kucerna, dan aku bingung. Haruskah aku mengingatnya? Apakah dia bagian dari memori yang disebut-sebut oleh teman-temanku itu? “Maaf, Pak, tapi sepertinya Anda salah orang,” kataku berusaha menjelaskan bahwa aku tak mengenalnya selain dari peristiwa di kedai kopi tadi dan tubuhku yang bereaksi lain saat melihatnya, tapi mungkin aku takkan memasukkannya ke dalam penjelasanku.

“Tidak, aku benar, kau adalah dia kan? Kau harus mengingatku, apapun yang terjadi!” katanya, kali ini seraya mengguncangkan tubuhku.

Kemudian potongan kilas balik peristiwa itu muncul lagi di kepalaku, mungkin terpicu akan pikiranku yang mulai memikirkan kemungkinan bahwa pria ini sinting. Aku ingat ada pohon natal. Ruangan. Ruangan itu tampak seperti ruang keluarga yang hangat. Dengan perapian yang menyala. Piano di sisi kanan ruangan dan pohon natal di sisi lainnya. Bukan, itu bukan ruang keluargaku. Itu adalah tempat lain. Tempat yang tak dapat kuingat. Ada aku di sana, dengan seorang pria, pria itu. Aku tampak agak menjijit... dan visi itu hilang begitu saja. Aku tak tahu apa yang terjadi selanjutnya, dan aku masih tak tahu siapa pria itu.

The Untold StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang