When I Love You

387 7 0
                                    

"Terkadang kesetiaan berbalas pengkhianatan. Tetapi percayalah, mereka yang tetap setia kepada kebaikan akan mendapat yang terbaik.” - Pepatah.

Metha menatap titik-titik air yang secara berturut-turut menghantam bumi dengan tatapan kosong. Butiran kristal bening bergulir menuruni pipinya. Sakit itu ternyata masih terasa kental di dadanya, membuat ia kembali menangis. Tanpa memedulikan air mata yang membasahi pipinya, Metha kembali mengarahkan pandangannya pada langit yang sedang menangis. Sama seperti hatinya yang sedang dilanda kepiluan. Pandangannya kabur oleh air mata yang semakin deras keluar dari pelupuk matanya. Metha sendiri terkejut bahwa ia masih bisa meneteskan air mata setelah beberapa hari lamanya ia tak henti mengeluarkan air mata.

Sebuah tangan tiba-tiba menyentuh bahunya. Tak ada reaksi apapun dari gadis itu. Tak ada umpatan maupun makian yang keluar dari bibir tipisnya. Reaksi yang sama sekali aneh bila mengingat Metha yang dulu. Metha yang bermulut pedas. Metha yang selalu mendapatkan apapun yang diinginkannya. Metha yang tak segan mengeluarkan kata-kata kasar saat ia menginginkannya.

Dengan perlahan, sama sekali bukan untuk menimbulkan efek dramatisir atau apapun, Metha menoleh. Mendapati kakaknya sedang tersenyum getir sambil menatap adik satu-satunya itu. Kayla hanya bisa menatap pilu adiknya yang kini sedang - masih - menangis. Betapa ia rindu pada senyum sinis yang biasanya terbit di wajah adiknya yang cantik itu. “Tha, mmm... ada Dylan,” cicit Kayla. Tak biasanya Kayla kehilangan kewibawaannya dan tampak sangat gugup seperti itu. Namun, siapapun yang berada di posisi Kayla, pasti akan mengerti kegugupannya. Ia tahu, mengucapkan nama itu lagi, pasti sama rasanya seperti jeruk lemon yang diperas tepat di atas luka yang masih menganga bagi adiknya tersayang. Hanya saja, Kayla merasa bahwa masalah Metha pantas untuk menemukan jalan keluar, dan ia juga tak ingin Metha berlarut-larut dalam kesedihan dan kubangan air mata seperti ini.

“Bilang padanya, aku nggak mau melihat batang hidungnya lagi. Suruh dia pergi, kalau bisa, tidak usah kembali,” katanya lebih dingin daripada es di Kutub Utara. Bila tak ada air mata di pipinya, orang lain akan mengira bahwa Metha sama sekali tak terganggu dengan kedatangan Dylan itu.

Kayla bangkit dari sisi adiknya. Ia mengacak rambut sang adik dengan penuh sayang. "Jangan siksa diri kamu sendiri, Meth," katanya. Sebelum ia beranjak dari sisi adiknya itu, Kayla kembali menambahkan, "Dan jangan menyiksa orang lain juga."

Metha memejamkan mata sesaat ketika ia merasakan perih itu menghantam dadanya saat mendengar nama itu disebutkan. Namun lamat-lamat ia kembali membuka matanya dan tampak kekuatan baru di sana, kekuatan yang mampu mengalahkan baja paling keras sekalipun. Tekad yang terbuat dari emas, logam mulia yang takkan pernah berkarat. Saat melihat adiknya mengangguk mantap, Kayla hanya bisa tersenyum samar, berharap bahwa ini adalah penyelesaian terbaik. Kemudian Kayla keluar dari kamar adiknya untuk mengabarkan pada Dylan bahwa adiknya akan menemui cowok itu.

Di dalam kamarnya yang sepi, ditemani rinai hujan, Metha menangis tanpa suara.

~~~

Metha berdiri bersedekap seakan melindungi dirinya di sudut ruangan. Matanya membelalak menatap sosok pria yang akhir-akhir ini menghantui hari-harinya, mimpinya, dan pikirannya. Menyadari hal itu, Metha kembali mengernyit. Menyadari bahwa mungkin masih ada sejumput rasa yang sama, yang tersisa untuk pria di hadapannya. Metha menutup mata sejenak dan menggelengkan kepala untuk menyingkirkan pikiran yang baru saja menghinggapinya.

Matanya menatap tajam ke arah pria itu. Bila tatapan bisa menyakiti seseorang, bisa dipastikan bahwa Dylan sudah terkapar dengan tubuh berdarah-darah di lantai apartemen Kayla sekarang. “Mau apa kamu ke sini? Belum puas kamu mempermalukanku, membuatku menjadi kacau seperti ini? Perlu apa kamu ke sini?” tanya Metha dengan suara dingin yang mampu membekukan siapapun yang mendengarnya.

Pria itu sebenarnya tampak sama kacaunya dengan gadis itu. Hanya saja, ia tampak lebih rapi daripada Metha. Ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Tha, sebegitu bencinya kah kamu sama aku? Harus berapa kali kamu mendengar permohonan maaf dariku sampai kamu mau memaafkanku?” kata Dylan dengan suara memohon.

Mata gadis di hadapannya melotot garang. Sekarang siapapun yang menatapnya pasti langsung bisa terbakar hidup-hidup oleh api amarah yang berkobar-kobar di dalam matanya yang sebenarnya amat bening itu. “Apa kamu bilang?! Aku nggak tahu ya, ternyata kulit kamu itu lebih tebal daripada badak. Masih punya muka ya kamu untuk minta maaf setelah apa yang udah kamu lakukan?” sentak Metha keras. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya dan menampilkan ekspresi kaget yang dibuat-buat. Kemarahannya mampu membuatnya melakukan apapun. Bahkan mungkin menggorok leher pria di hadapannya ini pun mampu dilakukannya bagaikan pembunuh berdarah dingin tanpa perasaan saat ini juga. “You dumb me like piece of trash dan kamu berharap aku bisa maafin kamu hanya dengan sebuah kata maaf? I have no idea that you can be that naive,” katanya pedas. “Mana perempuan jalang yang kurang beruntung itu? Apa kamu juga udah mengkhianati dia kayak kamu mengkhianati aku? Kasihan banget ya tu cewek brengsek, rasanya bukan kayak ketiban duren, tapi ketiban pohon duren, iya. Sial banget, sumpah,” lanjutnya sambil menggelengkan kepala dengan ekspresi penuh simpati.

Wajah Dylan sontak menegang. Bukan ini tujuannya datang ke sini. Bukan untuk mendengar mantan kekasihnya ini menjelek-jelekkan dirinya ataupun Stella, selir cintanya waktu itu. “Tha, aku ke sini bukan untuk mendengarkan kamu marah-marah atau maki-maki aku. Aku ke sini untuk minta maaf secara baik-baik, ya, Tha,” ucapnya mulai kehilangan kesabaran menghadapi gadis di hadapannya.

Metha merasakan lava panas bernama kemarahan itu kembali menggelegak dalam jiwanya yang terlalu kelam untuk diselami. Ia memutar bola matanya. “Bullshit soal minta maaf dan segala rupa. AKU. NGGAK. PEDULI. Kamu selamanya akan tetap jadi bajingan brengsek nggak tahu diri di mata aku, dan kamu, kamu sebaiknya minggat jauh-jauh dari depan mataku!” bentar Metha dengan suara yang sudah meninggi.

Tak dinyana, Dylan melangkahkan kaki keluar lewat pintu depan apartemen dengan gaya angkuh. Kemarahan tanpa alasan, membuatnya lupa akan rasa bersalah yang sebelumnya mendiami dirinya tanpa ingin pergi. Sebelum ia menutup pintu apartemen, ia menoleh dan dengan cuek, ia berkata, “Kamu tahu, Tha? Semua hal yang aku ucapkan atau aku lakukan selama kita masih SALING mencintai, adalah asli, tanpa akting atau dibuat-buat. Aku hanya ingin kamu paling tidak, nggak akan memandang aku serendah debu di ujung sepatu kamu,” katanya tajam kemudian menutup pintu.

“BRENGSEK KAMU, DYLAN!!!” jerit Metha melengking sekeras-kerasnya, memastikan bahwa Dylan dapat mendengarnya dengan jelas.

Metha kembali menangis. Dalam tangis luapan kesedihannya, diam-diam kelegaan merangkak naik merasuki relung hatinya.

Mungkin kali ini, aku membuat keputusan yang tepat, bisiknya dalam hati.

The Untold StoriesWhere stories live. Discover now