When You're Gone

247 4 3
                                    

Terinspirasi dari lagunya Avril Lavigne, When You're Gone.

~~~

“Kita takkan pernah sadar betapa berharga sesuatu hingga sesuatu itu direbut dari kita...”

Delica mengerjapkan matanya menatap sahabatnya, Mario. Bulu matanya yang panjang dan lentik itu naik turun mengikuti gerakan kelopak matanya yang terbuka dan tertutup. “Kamu bohong kan?” tanyanya penuh harap. Matanya masih mengedip-ngedip. Wajahnya terlihat penuh harap. “Bilang sama aku kalau kabar bahwa kamu mau pindah itu nggak bener! Tolong, Rio, bilang kalau itu nggak bener, please,” suara bening nan lembut itu benar-benar terdengar memelas.

Cowok di hadapannya mengusap wajah dan menggeleng dengan berat hati. “Maafin aku, Little Lica, maafin aku,” desahnya. Bayangan hidup tanpa sahabat sepanjang masanya ini benar-benar menyiksanya. Little Lica adalah panggilan kesayangan Rio pada Delica yang memang tampak sangat imut dengan mata besar dan pipi tembam. Anehnya, walaupun pipinya tembam, Delica termasuk gadis dengan tubuh ideal.

Mereka adalah pasangan tak terpisahkan. Meskipun masing-masing sudah punya pacar, mereka tetap jalan bersama, nyaris tak mempedulikan fakta bahwa pacar masing-masing cemburu akan kedekatan mereka. Tapi mereka terlalu dekat untuk menjadi sepsang kekasih. Seringkali terdengar rumor mengenai hubungan mereka yang sudah melangkah ke tahap yang lebih tinggi, yakni pacaran. Bahkan mereka pernah dikabarkan sudah bertunangan.

“Kapan kamu perginya?” tanya Delica berhasil mengendalikan diri. Ia memperhatikan Mario menutup pintu lokernya. Delica memang baru saja mendengar kabar kepindahan Mario dari Erika, sahabat wanitanya. Awalnya Delica marah karena Mario tidak memberitahunya terlebih dahulu, tapi dia memutuskan bahwa mungkin Mario tak sanggup kalau harus memberitahunya tanpa harus melihatnya menangis.

Senyum tipis kembali terkembang di wajah tampan Mario. Dia merangkul pundak Delica seperti biasa. Mereka sama sekali tak merasa canggung karena memang sudah terbiasa. “Lusa,” bisiknya sangat lirih. Campuran antara takut, sedih, dan berbagai perasaan lainnya yang sulit digambarkan.

Memang suara Mario sangat amat lirih, tapi itu masih cukup keras bagi Lica. “Apa?” suaranya bening itu berubah melengking dan memenuhi lorong sekolah mereka. Matanya yang memang sudah besar, jadi semakin besar akibat pelototan Delica, hidungnya kembang-kempis menahan marah. Wajahnya memerah karena marah dan kaget. “Kamu bercanda ya? Kenapa kamu baru bilang sih? Kalau tadi Erika nggak kasih tahu aku, aku nggak bakal tahu kalau kamu pergi, gitu maksud kamu? Mau menghilang tanpa jejak? Kok kamu tega sih sama aku,” serunya sambil memukul-mukul lengan Mario.

Mario tak menanggapi omelan Delica dan malah mengajaknya ke kantin. “Hei, sabar dong, Lic. Kamu kan tahu kalau aku benar-benar nggak mau ini terjadi, tapi mau gimana lagi? Aku udah mau ngasih tahu kamu dari minggu lalu, tapi keberanianku selalu menipis tiap kali aku ingin mengatakannya padamu. Akhirnya akupun menunda-nunda. Maaf ya, Little Lica,” jelas Mario.

Tiba-tiba Mario memeluk Delica lebih erat dan dengan cara yang berbeda dari biasanya. “Aku sayang kamu, Lica, aku cinta kamu,” bisiknya sambil mendekap Lica dan entah kenapa jantung Delica jadi berdebar tak keruan.

~~~

Hari masih pagi saat Mario tiba di bandara Soekarno-Hatta dengan kopor besar dan beberapa bawaan lainnya. Ia diantar oleh kedua orang tuanya dan juga kakaknya, Mike. Matahari masih belum tampak tapi Mario sudah harus check in. Hari ini, Mario akan berangkat ke London untuk melanjutkan pendidikan di sana.

Matanya menjelajahi tiap sudut bandara. Berusaha menemukan seseorang yang mungkin takkan ditemuinya. Mario mendesah. Seharusnya dia sadar, orang yang dicarinya itu pasti sangat membencinya saat ini, terutama karena kejadian kemarin. Hhh... Mario hanya mengharapkan sesuatu yang tak mungkin.

~~~

Delica menarik diri dari pelukkan Mario dan memundurkan duduknya dengan sikap tegang. “Rio, kamu ngomong apa sih?” tanyanya gugup. Matanya menatap ke segala arah kecuali ke kedua mata bening yang kini sedang menatapnya dengan tatapan terluka. Delica menundukkan kepalanya malu tanpa alasan yang bisa dimengertinya. Jantungnya berdentam keras dan cepat hingga ia merasa kalau dadanya hampir meledak dan jantungnya akan melompat keluar. Delica cukup yakin bahwa wajahnya sudah merona saat ini.

“Maafin aku, Lic. Seharusnya aku nggak ngelakuin itu. Err...” Mario menggaruk tengkuknya yang tak gatal dengan gugup. Perasaan tak nyaman merayapi hatinya. Kemudian perasaan tak nyaman itu berkembang menjadi rasa sakit yang menyedihkan. Tak biasanya Mario ditolak oleh seorang gadis, maka saat itu terjadi, bukan saja hatinya yang terluka, karena dia benar-benar mencintai Delica, tapi juga egonya sebagai seorang laki-laki.

Mario memutuskan untuk berlari ke kelas dengan alasan ada pekerjaan rumah yang lupa dikerjakannya. Delica menggelengkan kepalanya. Tentu saja itu tak benar. Mario tak pernah lupa mengerjakan pekeraan rumah. Mengerjakan pekerjaan rumah sudah seperti hobi baginya. Delica menatap kepergian Mario dengan mata nanar. Bibirnya bergerak namun tak mengeluarkan suara. Bibirnya membentuk kata, “maafin aku.”

~~~

Delica berlari melewati berbagai terminal keberangkatan dan kedatangan di bandara Internasional Soekarno-Hatta. Air matanya mulai mengalir akibat kepanikan yang tiba-tiba menyerangnya. Bagaimana kalau dia sudah naik ke pesawat? Bagaimana kalau pesawatnya sudah tinggal landas? Bagaimana kalau mereka takkan pernah bisa bertemu lagi? Dan berbagai “bagaimana kalau” lainnya.

Saat akhirnya ia tiba di depan gerbang keberangkatan internasional, ia melihatnya. Ia belum naik ke atas pesawat. Air mata yang menggenangi pelupuk matanya kembali bejatuhan. Kali ini yang ada adalah air mata kebahagiaan.

Dengan langkah pelan, Delica menghampiri Mario yang sedang duduk di sebuah kafe. “Rio,” panggilnya. Mario tampak kaget saat melihatnya. Tanpa meminta izin, Delica langsung duduk di hadapannya. “Rio, kalau aku terima cinta kamu, maukah kamu batal pergi London?” tanyanya langsung.

“Maafkan aku, Lica, itu tak bisa aku lakukan,” katanya.

“Baiklah kalau begitu. Setidaknya saat kamu ada di London, kamu tidak akan melirik wanita lain,” kata Delica. “Baiklah, kalau begitu aku mau menerima cinta kamu,” lanjut Delica.

“Benarkah, Lic? Atau itu hanya karena kamu tak ingin aku pergi?” tanya Mario curiga.

“Itu karena aku tak ingin kehilangan kamu,” bisik Delica sebelum ia berdiri dan memeluk Mario erat.

The Untold StoriesOnde histórias criam vida. Descubra agora