Setelah menghabiskan beberapa batang rokok, seorang bartender datang dengan membawa segelas kecil minuman bening layaknya air mineral biasa dan meletakkannya di atas meja, lalu pergi meninggalkan Dean setelah lelaki itu memberinya tip.

Tangannya perlahan-lahan mengangkat gelas tersebut dan mulai mendekatkan ke hidungnya. Aromanya benar-benar kuat dan membuat Dean segera menjauhkan gelas itu dari indera penciumannya.

Selang beberapa detik, ia kembali mengangkat gelas dan langsung mendekatkan ke mulutnya. Sedikit demi sedikit lidahnya mencicipi rasa dari minuman bening itu.

Rasanya biasa saja, tapi ada perasaan ingin kembali meminumnya saat orang-orang yang merasakan minuman itu. Hingga tersisa setengahnya, Dean meletakkan gelasnya saat mendengar ponselnya yang terus berbunyi.

Saat ini kepalanya terasa pening, tubuhnya terasa melayang-layang. Dalam keadaan seperti itu ia menggumamkan sesuatu. "Gue brengsek ya, jelas-jelas gue sayang sama dia tapi malah gue putusin. ANJING!!!" Dean kembali berteriak sambil melemparkan ponselnya yang kembali berbunyi.

Ponsel itu remuk di atas lantai, kini bunyi ponsel itu sudah tak terdengar lagi. Mungkin seseorang yang meneleponnya tidak akan bisa lagi menghubungi ponsel itu, karena keadaannya sekarang sudah hancur.

Tak lama kemudian muncullah seorang gadis dengan gaun merah dan duduk di meja bersama Dean. Dalam keadaan mabuk, Dean segera merangkul bahu terbuka gadis itu.

Dengan rakus Dean mencium bibir merah merona milik gadis asing itu. Tangan kirinya menekan tengkuk gadis itu agar bibir mereka semakin menempel. Sedangkan tangan kanannya ia gunakan untuk membelai punggungnya.

Gadis itu hanya dapat meremas kemeja yang digunakan Dean. Kini bibir Dean beralih menciumi leher jenjangnya. Gadis itu menggigit bibir bawahnya, mencoba agar tidak terdengar suara desahan dari mulutnya.

"Malam ini, lo sepenuhnya milik gue!" Ucap Dean tepat di samping telinga gadis itu dan membawanya ke dalam suatu ruangan.

✖✖✖

"Udahan dong nyet! Lo dari tadi mewek, mau ngabisin berapa bungkus tissue?" Adischa melemparkan boneka tepat di muka Lintang.

"Makannya, udah gue bilangin si Dean itu emang brengsek. Masih aja lo terima cintanya." cibir Finka seraya menarik kepala Lintang lalu diletakkan di ketiaknya dan dihimpit sebelah tangannya.

Lintang meronta-ronta minta dilepaskan dari tangan Finka. Setelah lepas, ia kembali membuang tissue terakhirnya ke sembarang tempat.

"AAAAA GUE PUSING BANGET SUMPAH!!!" teriak Lintang sambil mengacak-acak rambutnya frustasi.

"Ihh ni anak," Gesty menimpuk kepala Lintang dengan majalah yang sedang ia baca. "Tadi gue liat dia lagi mesra-mesraan sama si Shasya, anak kelas sebelas IPS. Gue sih ogah ngegalauin cowok kayak dia. Baru putus ama lo, dah gandeng yang laen aja. Mahal air mata gue mah." jelasnya.

"Percuma menjatuhkan air mata untuk seseorang yang gak akan pernah tau bahwa kita menangisinya." Adischa menimpali sambil terus memainkan ponselnya.

"Wuihh, kata-kata lo bijak juga. Dapet dari mana lu?" sahut Finka.

"Itu dari timeline, nih gue barusan baca." jawab Adischa sambil memperlihatkan ponselnya.

Ketiga temannya memutar bola matanya jengah. "Yaelah, gue kira itu kata-kata lo sendiri." cibir Gesty.

"Kagak lah. Boro-boro gue bikin kata-kata kek gitu, tugas bahasa aja gue males ngerjain. Hahahahaha.." kata Adischa sambil tertawa.

"Udah deh Lin, sekarang lo lupain tuh si Dean. Kita bentar lagi UN loh, gak usah mikirin makhluk yang namanya cowok dulu lah. Bener kata Kak Bintang." ucap Finka sambil melingkarkan kedua tangannya di leher Lintang yang kemudian diikuti kedua temannya yang lain.

Selama beberapa saat mereka ber-empat berpelukan, sampai akhirnya suara seseorang yang menekan bel rumah Lintang membuat mereka semua terdiam.

Lintang bangkit dari atas kasurnya kemudian berjalan menuju pintu depan untuk membuka pintu. Di depan pintu, seorang pria paruh baya tengah berdiri dengan pakaian rapi yang ia kenakan. Lintang mempersilahkan pria itu untuk masuk.

Setelah masuk, sang pria duduk di ruang tamu. Lintang memperhatikan wajah pria itu. Sepertinya wajah itu begitu familiar baginya. Saat pria itu tersenyum, Lintang merasa ia pernah melihat jenis senyuman seperti itu. Tapi siapa, ya?

Sebuah nama tiba-tiba melintas saat Lintang melihat pria itu kembali tersenyum. Lintang tersenyum kecut kemudian berdehem. "Kalau boleh tau? Oom Papanya... Dean, bukan?" ucapnya susah payah saat menyebutkan nama itu kembali.

Pria itu hanya tersenyum dan membuat Lintang semakin kebingungan dengan kedatangannya tengah malam begini.

"Ada yang bisa saya bantu, Oom?" tanya Lintang.

Lagi-lagi pria itu hanya tersenyum. Kemudian ia memegang tangan Lintang. "Nak, Oom titip Dean sama kamu, ya. Jaga Dean baik-baik, Oom percaya kamu bisa menjaga dia." ucap pria itu yang membuat Lintang semakin bingung.

Lintang hanya mengangguk menanggapi ucapan Papanya Dean dan setelah itu ponsel yang ada di saku baju tidurnya berbunyi.

"Saya angkat telepon sebentar ya, Oom." ucap Lintang sambil membalikkan badan membelakangi Papanya Dean. Dengan cepat, ia merogoh saku, mengambil ponselnya dan mengangkat telepon.

"Halo?"

"Ini Lintang?" terdengar suara wanita yang sedang kepanikan.

"Iya? Ini siapa?"

"Mamanya Dean."

"Oh, Tante. Ini Lintang sendiri. Ada apa ya?"

"Papa... Papanya Dean..." teriak wanita itu histeris.

"Papanya Dean kenapa Tante?"

"Papanya Dean... Kecelakaan. Sekarang keadaanya kritis."

"APA?!" pekik Lintang sambil membalikkan tubuhnya ke belakang. Di sana kosong, tidak ada siapa-siapa.

Jadi yang tadi ngobrol sama gue, siapa? Batin Lintang.

"Lintang?" panggil Mamanya Dean karena Lintang yang tiba-tiba diam.

"Eh, iya Tante?"

"Dean lagi sama kamu gak? Soalnya dari pulang sekolah dia langsung pergi gak tau ke mana."

Hati gadis itu mencelos. "Ekhm.. Maaf Tante, tapi Dean gak ada di sini. Ini sudah jam..." Lintang sejenak melirik jam tangannya. "Ini jam dua belas malem Tante, gak mungkin juga saya menerima tamu laki-laki di atas jam dua belas malem."

Terdengar suara tangisan di seberang sana. "Sejak satu jam yang lalu, tante sudah mencoba menghubungi Dean. Tapi nomornya tidak aktif." jelasnya sambil sesenggukan.

Lintang menelan ludahnya susah payah. "Saya ke Rumah Sakit sekarang, Tante." ucapnya seraya memutuskan sambungan telepon.

Kakinya melangkah kembali menuju kamar. Setelah masuk kamar, ia segera meraih cardigan berwarna gelap dan memakainya. Ketiga temannya heran saat melihat Lintang yang tiba-tiba mengganti pakaiannya.

"Mau kemana Lin?" tanya Adischa.

"Buru-buru amat." timpal Gesty.

"Gue mau ke Rumah Sakit," Lintang meraih kunci mobil. "Papanya Dean kecelakaan." lanjutnya.

"APA?!" teriak ketiganya hampir berbarengan.

"Gue ikut." seru Gesty.

"Gue juga." sahut Finka dan Adischa.

"Buruan!" ucap Lintang sambil melangkah keluar menuju parkiran dan diikuti ketiga temannya.

Lintang dan ketiga temannya segera masuk ke dalam mobil. Gadis itu segera menancap gas dan mobilnya telah melesat meninggalkan rumahnya menuju Rumah Sakit tempat Papa Dean dirawat.

Kemana sih cowok brengsek itu? Batin Lintang khawatir.







Ps: malu banget nge-post part ini!!!

DistanceWhere stories live. Discover now