Bab XII

2.5K 127 26
                                    

Tidak diangkat.

Sebastien memukul setir dengan tangan kanannya, membuat suara klakson menggema di jalanan yang padat. Luapan kekesalannya itu sontak dibalas oleh makian dalam bahasa prancis oleh pengemudi lainnya, mengingat rambu lalu lintas di hadapannya masih memberikan warna merah.

Sembari menahan diri untuk tidak mengumpat, laki-laki itu menurunkan ponsel di tangan kirinya. Sudah tak terhitung berapa kali ia mencoba menghubungi Tara dengan speed dial nomor lima (setelah rumah, ayah, ibu, dan kantor), namun lagi-lagi yang terdengar hanyalah suara lembut yang menyuruhnya meninggalkan pesan.

'Allo, Tara disini. Maaf, saat ini aku sedang tidak bisa menerima panggilan, silakan tinggalkan pesan dengan menekan tanda...'

Sebastien bahkan tidak mendengar kelanjutan kalimat itu dan dengan cepat menekan tombol virtual berlambang * di ponselnya.

"Tara, ini aku. Kau dimana? Tolong katakan padaku kau baik-baik saja. Hubungi aku secepatnya setelah kau menerima pesan ini."

Satu jam yang lalu, Sebastien Giraudeau masih duduk tenang di belakang meja kerjanya. Menikmati Cafe Latte panas dengan saus hazelnut --kombinasi aneh namun menjadi minuman favoritnya--dengan file-file kerja berserakan di hadapannya.

Satu panggilan. Hanya satu panggilan telepon yang diteruskan personal assistant-nya cukup untuk membuatnya kalang kabut dan memutuskan segera mengebut ke jalan raya seperti sekarang. Suara panik Elise--rekan kerja sekaligus teman dekat Tara, sesama penyiar--masih menggema di benak Sebastien.

Ucapan gadis itu terbata-bata, dengan susunan kalimat yang juga kacau. Tapi hanya empat kata saja sudah cukup membuat Sebastien mampu mencerna situasi: Tara. Menangis. Taksi. Hilang.

Gadis itu menemukan Tara menangis setelah wawancara. Tanpa berbicara sepatah katapun, Tara keluar menaiki taksi entah kemana.

Meski Tara jarang bercerita mengenai pekerjaannya. Namun Sebastien tahu siapa yang diwawancara olehnya sebelum hal itu terjadi. Hanya ada satu orang yang memiliki kuasa untuk membuat Tara bereaksi seperti itu.

Berbagai perasaan berkecamuk dalam diri Sebastien. Marah, sedih, panik, bingung. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan selanjutnya, namun untuk saat ini ia harus melakukan tugas pertama sekaligus terberat: menemukan Tara Dupont, yang menaiki taksi dan dapat berakhir dimana saja di Paris.

Suara klakson mobil di belakangnya membuat Sebastien terperanjat. Ia melirik ke arah rambu lalu lintas yang telah berwarna hijau. Rentetan mobil di depannya juga sudah lenyap, meninggalkan jalanan lapang. Sebastien mengganti kopling dan menginjak pedal gas sekuat tenaga, meninggalkan deruan asap yang kembali menghadiahinya dengan umpatan dari pengemudi di belakangnya.

Sialan. umpatnya dalam hati, yang tanpa sadar disuarakan oleh Sebastien melalui bibirnya.

***

Dimana?

Matanya mengerjap pelan.

Hal terakhir yang diingatnya adalah berjalan keluar dari taksi, setelah memberikan lembaran uang lima puluh euro pada sopir taksi tanpa memikirkan kembaliannya sama sekali.

Tubuhnya seperti memasuki mode auto-pilot, dimana ia membiarkan kakinya membawanya kemanapun mereka melangkah. Ia bahkan tidak lagi merasakan bagaimana tumitnya tersiksa oleh hak sepatunya, dan hanya terus melangkah tanpa tujuan.

Sejak laki-laki itu meninggalkannya dua tahun yang lalu, ia tidak pernah utuh lagi. Setiap kali kenangan itu kembali, ia membiarkan pikirannya berlarut-larut, sementara tubuhnya terus melakukan tugas yang seharusnya dikerjakan olehnya. Seperti saat ini. Bedanya, ia bahkan tidak memberikan tubuhnya perintah yang jelas.

Autumn In Paris : Sequel (Fanfiction)Where stories live. Discover now