Bab X

1.7K 121 10
                                    

"Kalau ada yang ingin kau katakan, katakan saja."

Suara Tara terdengar datar. Sepanjang perjalanan dari lobi apartemen, lift, hingga depan unit apartemennya, ia telah mempersiapkan diri menerima omelan, teguran, dan semua kemungkinan yang mungkin dilontarkan Sebastien kepadanya. Meski persiapannya terasa nihil, laki-laki itu sama sekali tidak mengatakan apa-apa hingga mereka tiba di depan pintu, membuat Tara semakin merasa tidak nyaman.

"Ayo. Marahi aku, seperti yang selalu kau lakukan setiap kali aku membahas sesuatu yang menyangkut laki-laki itu!" Tara berbalik, mata kelabunya mulai tergenang oleh cairan bening, tampak berkilat di bawah cahaya lampu. "Ya, bahkan setelah aku berjanji akan melupakannya. Takdir mempertemukanku dengan pria berwajah sama sepertinya. Bukankah ini tidak adil?"

Mereka tiba di depan unit apartemen Tara. Sebastien mundur selangkah, mempersilakan Tara mengetikkan password pintu apartemennya. Pertanda buruk, mengingat Sebastien yang biasanya tidak akan sungkan untuk masuk begitu saja. Laki-laki itu sudah hafal pin enam angka itu di luar kepala.

Sesuatu bergejolak dalam dada Tara. Ia menyerah, cepat-cepat mengetuk sebaris angka melalui tombol virtual itu dan masuk bersamaan dengan terbukanya pintu, menyambungkannya langsung ke ruang tamu.

Baru semalam ia dan Sebastien menikmati makan malam di ruangan itu. Tertawa, berbagi canda, ditemani alkohol. Tempat yang sama, dengan pria yang sama. Namun ia tidak merasa nyaman sama sekali. Tidak dengan Sebastien bersikap seperti patung: berdiri kokoh tanpa bersuara sedikitpun di belakangnya.

Punggung Tara bergetar, namun bahunya melemas seketika ketika mendengar helaan napas Sebastien. Tidak ada teguran, masih tanpa suara, Tara merasakan dirinya ditarik lembut ke dalam dekapan laki-laki Prancis itu. Dengan posisi membelakangi, meski Tara tidak dapat melihat wajahnya, ia dapat mendengar jelas kepedihan dalam suara itu. "Dia bukan Tatsuya."

Seolah ada sesuatu yang meninggalkan dirinya, Tara yang semula ikut mematung perlahan-lahan melepaskan lengan yang mendekapnya. Ia berbalik, memandang Sebastien tanpa ekspresi sebelum melenggang masuk ke dalam kamarnya.

Sebastien bersandar ke tembok, membiarkan tubuhnya merosot hingga terduduk di karpet apartemen Tara. Ia pernah melihat ekspresi itu, wajah yang ditunjukkan oleh Tara sesaat sebelum ia hampir menenggelamkan dirinya ke dalam Sungai Seine.

Ekspresi wajah seseorang yang telah kehilangan segalanya.

***

Tatsuya Fujisawa

Percuma. Berapa kalipun Yuuto mengetikkan nama itu di kolom search engine, tidak ada hasil yang memuaskan. Nama itu terlalu umun dimiliki oleh orang jepang. Berbagai macam artikel di web tidak membawanya kepada jawaban: siapa sebenarnya Tatsuya Fujisawa yang dimaksud pria itu, dan apa hubungannya dengan Tara?

Rasa penasaran itu perlahan-lahan berubah menjadi keputusasaan seiring dengan halaman ketiga pencarian yang dibuka olehnya. Jengah, Yuuto memilih beberapa berita itu dan membukanya secara acak di tautan baru, dan membacanya asal satu persatu. Hingga salah satu tautan membawanya pada satu halaman web, sebuah artikel.

Tatsuya Fujisawa, arsitek asal Jepang bekerjasama dengan Sebastien Giraudeau dalam sebuah proyek rahasia?

Arsitektur bukanlah bidang yang dikuasai Yuuto. Selain beberapa buku seputar desain bangunan yang dibacanya untuk referensi novelnya, ia hampir tidak tahu apa-apa soal bidang itu. Namun ada sesuatu yang menariknya untuk terus membaca.

Artikel yang cukup panjang itu diakhiri dengan selembar foto. Dua orang yang saling berjabat tangan. Yuuto melotot, ia mengenali laki-laki bertampang barat itu. Meskipun tampak lebih rapi dan muda dalam foto, tidak salah lagi, laki-laki itu adalah orang di apartemen Tara kemarin. Sebastien Giraudeau.

Autumn In Paris : Sequel (Fanfiction)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang