Bab I

7.3K 221 25
                                    

Paris, dua tahun kemudian

Hembusan napas lega Tara akhirnya lepas bersamaan dengan langkah terakhirnya keluar dari ruang siaran. Gadis itu melirik jam di pergelangan tangannya, pukul delapan. Baginya yang berdarah setengah Indonesia, tidak makan tepat waktu benar-benar dapat membuat perutnya keroncongan.

Langkah Tara terhenti di meja kerjanya. Beberapa lembar kertas berwarna dan sebatang pena berserakan di atasnya. Tara suka menghias meja kerjanya dengan notes-notes kecil sebagai reminder tentang apa yang harus dilakukannya setiap hari.

Dulunya, ia mungkin tidak akan membuang-buang waktu dan tenaga untuk hal kecil seperti itu. Toh, semua jadwalnya dapat diingatnya dengan jelas. Namun kemampuannya seperti hilang tertelan bumi sejak kejadian itu.

Ya, Tatsuya Fujisawa.

Bahkan hingga detik ini pun, menarik napas ketika mendengarkan nama pria itu dalam hatinya menjadi tugas yang berat bagi Tara. Tatsuya masih memiliki dampak padanya. Tara tahu selamanya akan begitu.

Tetapi tidak sekarang batin Tara dalam hati. Ia bersandar lemas ke punggung kursi dengan kedua mata mulai berair oleh nyeri emosional yang menyerang hatinya.

Salah satu solusi Tara ketika hal ini terjadi adalah menoleh ke arah jendela. Tinggal cukup lama di Paris tidak membuat kekagumannya akan kota yang konon paling romantis di dunia ini berkurang.

Tara senang melihat hiruk pikuk di bawah melalui jendela lantai tiga gedung stasiun radio tempatnya bekerja. Langit malam Paris yang dipadukan dengan lampu jalanan dan cahaya dari papan reklame. Hiruk pikuk berbagai kendaraan yang berlalu lalang. Melihat hal-hal sederhana seperi itu selalu manjur menghilangkan rasa pusing di kepalanya.

Malam ini, perhatian Tara benar-benar tertuju pada pejalan kaki. Senyumnya mengembang mengamati sosok dengan berbagai mantel berlainan warna berlalu-lalang, menyambut udara dingin malam pertama musim gugur.

Lalu ia melihat sosok itu.

Mata Tara membelalak, gadis itu cepat-cepat menarik mantelnya yang tergantung di coat hanger dan membanting pintu di belakangnya. Suara ketukan hak sepatunya terdengar bergema seiring dengan langkah cepatnya menuruni satu persatu anak tangga.

Napas Tara terengah begitu ia sampai di trotoar di luar gedung. Ia menoleh, meneliti setiap kerumunan orang yang lewat. Tara terus mencari hingga tatapannya jatuh pada punggung seorang pria bermantel cokelat, yang berjalan menjauh darinya.

"Tatsuya..." Bibir Tara bergetar. Ia mulai melangkah terseok, menerobos kerumunan orang-orang. Cukup sulit mengingat betapa padatnya trotoar tersebut.

Berbagai suara bisikan Bahasa Prancis terdengar membicarakan Tara, atau sekedar menggerutu. Namun ia tidak peduli. Satu-satunya hal yang dipikirkan Tara saat itu adalah mencapai sosok itu.

"Tatsuya!" pekiknya sekuat tenaga.

Punggung itu tampak semakin kecil dalam pandangannya, hingga menghilang di tengah lautan manusia. Saat itulah Tara merasa setiap energinya yang tersisa menguap seketika.

"Tatsuya..." pintanya lirih. Lutut Tara yang lemas sudah siap untuk jatuh saat ia merasakan lengannya ditarik dan dicengkeram erat dari belakang. Kemudian dengan satu sentakan keras, tangan itu menariknya ke sisi luar trotoar yang lebih sepi.

"Tara?"

Gadis itu menoleh, mendapati sosok jangkung Sebastien Giraudeau. Rambut pirangnya yang mulai memanjang sedikit menutup wajahnya. Namun Tara masih dapat melihat jelas tatapan khawatir di mata biru lelaki itu.

"Kau menangis?" tanya Sebastien.

Tara cepat-cepat mengusap air mata yang mulai terbentuk di sudut matanya dan menggeleng. Alih-alih percaya, Sebastien malah mendekapnya dengan erat.

Autumn In Paris : Sequel (Fanfiction)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang