Jilid 4

2.3K 20 0
                                    

"Seorang tosu pengembara yang kebetulan lewat di tempat tinggal kami mengajarkan ilmu silat kepada saya, akan tetapi dia tidak mengatakan siapa naman dan bahkan tidak ingin diketahui siapa namanya. Saya sempat dilatih selama beberapa tahun kemudian disuruh latihan seorang diri. Dengan segala kemampuan saya, saya melawan ketika hendak dibunuh dan akhirnya dapat melarikan diri walaupun luka-luka pada lengan saya."

"Siapakah orang-orang yang membunuh keluargamu? Apakah engkau mengenal mereka?" tanya Petani Lai yang juga tertarik sekali ingin mengetahui siapa pembunuh-pembunuh sadis yang membantai sepuluh orang dusun yang tak berdosa Itu.

"Saya tidak mengenal mereka, akan tetapi di baju mereka bagian dada ada gambar seekor harimau hitam."

"Seekor harimau hitam? Apa engkau tahu apa artinya itu?" Nelayan Gu bertanya.

A-seng menggeleng kepalanya. "Saya hanya pernah mendengar bahwa di balik puncak ini terdapat sebuah perkampungan yang menjadi tempat tinggal Hek-houw-pang (Perkumpulan Harimau Hitam) yang kabarnya ditakuti semua orang karena mereka bersikap ugal-ugalan. Akan tetapi saya sendiri tidak pernah pergi ke sana, apa lagi bertemu dengan mereka."

"Hek-houw-pang.....? Petani Lai, pernahkah engkau mendengar tentang Hek-houw-pang?" tanya Nelayan Gu kepada Petani Lai yang dijawab dengan gelengan kepala.

"Sekarang lebih baik kita mengurus mayat-mayat ini terlebih dulu. Karena di sini tidak ada orang lain, terpaksa kita bertiga yang harus menguburnya dan setelah itu baru kita melapor kepada suhu" kata Petani Lai.

Mereka bertiga lalu bekerja. Menggunakan cangkul gagang panjang yang selalu dibawa Petani Lai, dia menggali tanah belakang rumah-rumah itu dengan cepat Nelayan Gu dan A-seng membantunya dengan menggunakan cangkul yang mereka temukan di pondok ketiga orang tani itu.

Kalau tidak dikerjakan oleh Petani Lai dan Nelayan Gu, tentu akan makan waktu lama menggali sepuluh buah lubang kuburan itu. Akan tetapi kedua orang adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi dan memiliki tenaga sakti yang membuat pekerjaan itu dapat dilakukan cepat sekali. Apalagi A-seng ternyata juga merupakan seorang pemuda yang kuat dan dapat menggali dengan cepat walaupun dilakukan dengan kadang diselingi tangisnya karena kematian keluarganya. Setelah selesai mengubur sepuluh jenazah itu dan membiarkan A-seng berlutut sambil menangis menyebut ayah ibunya nelayan Gu lalu menyentuh pundaknya,

"Sudahlah, cukup engkau menangis. Sekarang mari kita menghadap suhu untuk mendapatkan petunjuk beliau selanjutnya." A-seng bangkit dan sambil menundukkan mukanya dengan sedih diapun mengikuti kedua orang itu mendaki Puncak Awan utih.

Setelah Nelayan Gu, Petani Lai dan A-seng pergi meninggalkan puncak, Bung Lo-jin berkata kepada Han Lin.

"Han Lin, sekarang tunjukkanlah kepada kami apa saja yang sudah diajarkan Gobi Sam-sian kepadamu. Bersilatlah menggunakan tongkat seperti ketika engkau melawan Nelayan Gu dan Petani Lai tadi. Aku sendiri juga ingin mengetahui sampai di mana kemampuanmu."

Han Lin mematuhi permintaan Bu-Beng Lo-jin. Dia mencari lagi sebatang kayu cabang pohon, dijadikannya tongkat lalu mulailah dia bersilat. Tongkat itu dimainkan sesuai dengan ilmu tongkat yang dipelajarinya dari Ang-bin-sian, kemudian dia mainkan seperti pedang sesuai dengan ajaran It-kiam-sian.

Kemudian dia mainkan sebagai gagang kebutan yang melakukan totokan-totokan seperti yang diajarkan Pek-tim-sian. Dua orang kakek itu menonton dengan senang dan mengangguk-anggukkan kepalanya. "Cheng Hian Hwesio, apakah engkau hendak menerima pemuda tadi sebar muridmu?"

"Kalau perlu, mengapa tidak? Ayah ibunya telah tewas dan dia hidup sebatang kara, perlu ditolong, bukan?"

"Akan tetapi aku melihat bahwa anak itu terlalu cerdik, hal ini dapat dilihat dari gerakan matanya. Engkau belum mengenal benar asal-usulnya, bagaimana demikian mudah menerimanya sebaga murid? Bagaimana kalau engkau salah pilih?"

Suling Pusaka Kumala - ASKPHTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon