Prolog

240K 9.7K 156
                                    

Aku membuka mataku perlahan. Ini sangat aneh. Tubuhku terbaring dengan posisi lurus, menghadap ke langit-langit kamar. Hal yang jarang aku lakukan kalau sedang tidur malam hari.

Mataku perlahan mengarah ke samping. Cukup kaget, aku melihat Fabian juga tidur di sampingku. Tapi tangannya sibuk dengan iphone miliknya. Aku mengarahkan pandangan ke sekitarku. Ini benar di kamarku. Ternyata dia balas memandangku dan tersenyum. Sebuah senyum yang selalu kudambakan.

Aku tersenyum membalas senyumannya. Tangannya yang selalu hangat terulur mengusap pipiku pelan. Perlahan kepalanya mendekat kearahku. Iphone sudah tak lagi ada ditangannya. Aku menutup mataku perlahan menantikan apa yang akan terjadi selanjutnya.

Duk! Duk! Duk! Duk!

Pintu kamarku di dipukul oleh seseorang.
"Ara, bangun! Ara katanya janjiannya jam setengah lima sore. Ini udah mau jam lima. Untung gue gak nunggu disana sendirian."

Aku membanting tubuhku ke samping dengan kesal. "Dasar Ali Baba! Gak bisa lihat temannya seneng dikit!" Keluhku kala menyadari semua itu hanya mimpi siang hari yang indah. Aku berjalan sempoyongan berjalan membuka pintu.

"Aduh lo ganggu banget sih! Gue hampir ciuman sama Fabian tau. Durhaka lo sama temen!"

Marahku sambil berjalan menuju toilet.

"Sampai kapan sih lo mau ngayal. Fabian tu gak bener-bener suka sama lo. Dia bisa jadi pacar lo karena ada maunya, Ra," balas Ali yang masih dapat kudengar.

Kalimat sangat menyakitkan. Selama ini banyak orang yang bicara seperti itu. Tapi tak kuhiraukan karena kupikir mereka hanya iri padaku.

Ali adalah teman sejatiku. Dia tak pernah ingin sekalipun menyesatkanku. Dia berbeda dengan mereka yang kuanggap iri. Sudah dua kali ia mengucapkan kalimat itu. Pertama saat kami sedang berkelahi, kedua saat ini. Keduanya terdengar sama-sama menyakitkan. Untuk itulah sekarang aku mulai mempertimbangkan ucapan Ali yang sialnya selalu benar. Apa benar Fabian tak pernah mencintaiku? Sedikitpun? Hubungan kami sudah jalan dua bulan tapi aku belum juga berhasil membuatnya mencintaiku. Aku mulai takut kesia-siaan ini akan segera berakhir.

Selesai bersiap, aku mengahampiri Ali yang sudah menungguku di ruang tamu. "Ayo berangkat!" Ucapku padanya. Sore itu kami akhiri dengan lari keliling kompleks sambil sesekali bercanda.

***

Aku kembali ke rumah dengan perasaan lelah. Di depan rumah, ku melihat Manda sedang terlibat percekcokan dengan kekasihnya yang tampan. Manda sepertinya mencoba untuk meminta maaf tapi tak dihiraukan.

"Ini bukan pertama kalinya kamu ketahuan ketemu sama dia Manda! Aku udah cukup sabar dapet laporan dari sahabat-sahabatku."

"Aku gak ada hubungan apa-apa sama dia." Aku heran pada Manda. Dia sudah punya Van yang pasti takkan membuat malu saat dibawa jalan kemanapun, tapi ia masih mengharapkan lelaki lain. Avan adalah Fabian versi baik. Kalau Fabian itu seorang bad boy sekolahan, Avan justru good boy yang dielukan semua murid dan guru. Tapi sikap arogan dan perfeksionisnya, membuatku menjaga jarak. Aku tidak cocok dengan tipe orang seperti itu.

"Iya gak ada, sebelum dia putus sama Algena." Kini namaku disebut. Aku menelan ludah sesaat. Aku tahu yang mereka bicarakan adalah Fabian. Karena pacarku hanya Fabian. Oke, semua pujianku pada Avan tak berarti apa-apa jika orang yang membuat Avan cemburu adalah Fabian.

"Ngapain lo tetep disitu! Masuk sana!" Teriak Manda dengan nada super galak kepadaku. Mendengar itu Avan juga ikut berbalik melihat wajah terlukaku.

Aku meremas tanganku menahan air mata yang sebentar lagi akan turun.

"Darimana kamu? Jam segini tu anak perempuan harusnya udah rapi, wangi, bukan malah berantakan kayak gitu! Lihat tu Manda, jam segini udah diapelin pacarnya." Sebuah suara yang aku rindukan karena sangat jarang berada di rumah, menginterupsi langkahku.

AlgenaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang