CHAPTER 1 : MISTAKE

9.3K 1K 66
                                    

Aku berdiri di depan pintu -lebih tepatnya di depan papan tulis- menghadap ke balakang. Menatap pemuda itu dengan datar, berbeda dengan teman-temanku yang tengah menatapnya tajam.

Pemuda itu menunduk dengan tangan yang saling bertautan diatas paha. Aku yakin ia tengah ketakutan saat ini.

Hey, dia itu anak nerd yang tidak biasa diperhatikan. Wajar ia merasa ketakutan saat ditatap banyak orang apalagi ditatap dengan tatapan mematikan oleh seluruh teman sekelas.

Aku menuju mejaku, menghempaskan tasku di atas meja membuat perhatian mereka teralih padaku sesaat. Namun sesaat kemudian mereka kembali menatap anak cupu di sudut itu.

"Mwoanenggoya (apa yang kau lakukan) ?!" bentak Lee Jeno, ketua geng di kelas kami. Bukan, dia bukan ketua kelas tapi ketua geng yang bisa dibilang ketua gengster di sekolah ini.
Gengnya itu hanya berisi namja-namja payah yang hanya berpesta-pesta dengan uang orang tua. Aku benci mereka.

Renjun tetap diam setelah ia sedikit tersentak dengan suara bentakan Jeno. Tundukan kepalanya semakin dalam dan aku pikir air matanya mungkin sudah mengalir.

"Apa kau akan diam saja?!" bentaknya sekali lagi.

Aku memutar mataku, "Kya.. Geumanhae (hentikan). Dia tidak akan menjawab pertanyaanmu meskipun mulutmu akan robek saat ini juga. Ia butuh waktu" kataku.

Jeno tertawa meremehkan, "Butuh waktu? Apa aku juga tidak buutuh waktu untuk memperbaiki nama baikku? Aku sekelas dengannya dan itu membuatku ikut kena imbasnya. Kita semua dikelas ini disebut-sebut sama sepertinya, menyukai sesama jenis. Jadi apa aku harus memberinya waktu?" tanyanya sinis.

Dia benar. Saat ini kelas kami menjadi pusat perhatian seluruh sekolah. Siswa-siswi dari kelas lain mulai menatap sinis dan jijik kepada kami.

Tapi.. Entah kenapa, aku merasa.. Ada sesuatu dari diriku yang mendorongku agar tak mempercayai foto itu, agar membela Renjun. Aku tidak tahu kenapa dan aku enggan melakukannya. Aku tidak tahu aku harus percaya atau tidak dengan foto itu karena itu tidak penting menurutku. Aku juga tidak bisa membela Renjun. Aku bahkan tidak pernah sekalipun berbicara padanya sejak kami MOS beberapa bulan yang lalu. Apa hak ku membelanya? Apa landasanku membelanya? Tapi perasaan ini sungguh tidak nyaman.. Seperti ada sesuatu yang mengganjal.

Ah aku mulai gila. Aku terlalu melankolis seperti drama-drama.

Aku menggigit bibir bawahku, berpikir keras akan keadaan. Aku tidak boleh kalah dari Jeno. Aku harus menjawab perkataannya.

"Kau punya bukti kalau di foto itu memang dia?"

Jeno kembali tertawa, "Kau tak lihat? Di foto itu jelas-jelas adalah dia. Meskipun dari samping, kau bisa mengenali dengan jelas wajah si cupu itu. Auhhh, mitchigetta!" ucapnya sambil mengacak-acak rambutnya frustasi.

Aku tersenyum miring, "sekarang ini zaman modern. Kau tidak bisa secepat itu mempercayai bukti fisik seperti itu. Semua bisa di manipulasi saat ini," aku berjalan ke arahnya, memegang seluruh bagian wajahnya mulai dari dahi hingga ke dagu dan di akhiri menatap manik matanya, "bahkan wajahmu ini adalah menipulasi yang dilakukan tangan dokter, sobat"

Mendengar itu Jeno mengangkat tangannya hendak menamparku tapi tidak jadi karena Park Seonsangnim telah berdiri di depan kelas, berdeham agar seluruh siswa-siswi menyadari keberadaannya disana.

Saat semuanya telah duduk di bangku masing-masing, Park saem mulai masuk ke dalam kelas dan mulai menyapa kami semua. Wajahnya yang ceria seketika pudar saat melihat barisan bangku yang tak beraturan. Semuanya menjauhi meja Renjun yang memang duduk sendirian di barisan paling akhir di sudut sebelah kanan.

"Museun Iriya?" tanya Park seonsangnim.

Kim Hoojon sebagai ketua kelas menjawab, "mereka semua takut tertular menjadi gay, saem."

Park Saem menganggukkan kepalanya tanda mengerti lalu tersenyum tipis, "aku mengerti perasaan kalian. Kalian pasti berpikir Renjun adalah manusia tergila di dunia ini. Tapi.. Apa kalian sudah mendengar alasannya melakukan itu?"

"Apa kami masih butuh mendengar alasannya?" tanya Kim Eunbi dengan sinis. Dia kekasih Jeno.

"Kenapa tidak? Dia 'kan teman kalian" jawab Park saem kembali.

"Dia bukan temanku"

"Sampai kapanpun dia bukan temanku"

"Aku tidak mau memiliki teman seperti itu"

"Teman? Kau bercanda? Lebih baik aku mati daripada harus berteman dengannya"

Park Saem menggeleng-geleng, "Kalian ini benar-benar. Tidak boleh seperti itu. Kalian itu temannya. Meskipun dia teroris sekalipun ia masih tetap teman kalian. Jika ia membuat kesalahan seharusnya kalian lah yang menegurnya. Menyadarkannya bahwa perilaku yang dilakukannya itu tidak benar. Bukannya malah ikut menyudutkannya seperti ini. Sudah, mari kita mulai pelajar hari ini. Buka halaman...."

"Ne!" ucap kami bersamaan.

Aku mengambil bukuku dengan senyuman yang terus mengembang akibat perkataan Park saem. Dia itu guru terbaik bagiku. Selain wajahnya yang tampan bagai para idol yang berlenggak-lenggok di atas panggung, sikapnya juga sungguh dewasa. Aku benar-benar menyukainya.

TBC~

Innocent;huang renjun[√]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang