Part 1

279 16 32
                                    

Aku berjalan melangkahkan kaki memasuki area perkantoran tempatku mencari pundi-pundi rupiah selama ini. Menegakkan kepala dengan pandangan kedepan, berjalan dengan penuh percaya diri adalah sesuatu yang aku tanamkan pada diriku selama ini. Terlihat beberapa karyawan tersenyum hangat padaku dan beberapa menyapaku. Aku hanya membalas sapaan mereka dengan senyuman.

Namaku Famela Putri Andini. Kalau kalian menebak aku adalah bos disini, kalian salah. Nyatanya aku hanya karyawan disini. Namun sikap ramahku terhadap siapapun membuatku cukup disegani disini.

Posisiku sebagai sekretaris direktur utama diperusahaan ini pula lah yang mendorong mereka mau tidak mau harus menghormatiku. Aku berjalan menuju lift, saat pintunya hampir tertutup seorang gadis tengah berlari dan memintaku untuk menahan lift itu.

"Syukurlah, aku pikir aku akan terlambat lagi." Gadis ini memang selalu berlebihan. Aku melirik jam dipergelangan tanganku, baru setengah Sembilan pagi. Itu artinya masih ada setengah jam sebelum jam kerja dimulai.

"Lebay." Ucapku menanggapi perkataannya tadi.

"Aku tidak lebay. Nih sudah setengah Sembilan. Itu artinya hampir terlambat."ucapnya masih dengan keteguhan hatinya bahwa setengah Sembilan itu dikategorikan terlambat.

"Terserah." Ucapku pada akhirnya. Berdebat dengan gadis ini dipagi hari bukanlah sesuatu hal yang menyenangkan.

"Mela, ntar makan siang temenin makan ya dicafe depan sana." Ucapnya lebih seperti pernyataan bukan permintaan.

"Makanan disana nggak ada yang enak Dita, mending makan diwarung mbok jah." Ucapku padanya.

"Ish... aku kan mau ketemuan sama seseorang Mel, masa aku ajak makan siang di warung mbok Jah?" ucapnya sambil memandangku dengan tatapan mencemooh.

"ya bagus dong. Itu artinya dia bisa diajak hidup susah."

"Apa hubungannya Mela. Udah ah nggak mau tau pokoknya kamu harus makan siang bareng aku di café depan nanti."ucapnya lalu melangkahkan kaki meninggalkan lift. Lift kembali menutup untuk membawaku menuju lantai tempatku bekerja. Lantai paling atas digedung ini.

Aku melangkahkan kaki menuju mejaku. Menyalakan computer lalu memeriksa kembali berkas-berkas yang harus ditandatangani oleh sang direktur.

"Pagi Mela." Sapa Pak Ryan—direktur tempatku bekerja.

"Pagi Pak. Maaf saya tidak melihat bapak datang." Pak Ryan mengangguk dan tersenyum padaku.

"Ada berkas yang harus ditanda tangani Mel?" ucap Pak Ryan.

"Ada Pak. Akan segera saya bawa ke ruangan Bapak." Ucapku pada Pak Ryan. Beliau tersenyum lembut kearahku lalu berbalik masuk kedalam ruangannya.

Pak Ryan sudah aku anggap sebagai ayahku sendiri. Beliau sangat baik kepadaku sejak aku pertama kali bekerja disini 4 tahun silam. Aku mengetuk pintu kayu yang ada dihadapanku. Setelah mendengar perintah untuk menyuruhku masuk, aku membuka pintunya lalu memasuki ruangan itu. Pak Ryan duduk dibalik mejanya, terlihat sangat serius memeriksa berkas yang dia pegang.

"Mela ada yang harus saya sampaikan. Duduklah." Ucapnya padaku. Aku duduk sofa panjang yang ada diruangan ini. Pak Ryan kemudian berdiri dari kursi kebesarannya, berjalan menuju sofa dan duduk pada single sofa.

"Ada apa Pak?" aku menatap Pak Ryan. Pak Ryan dan istrinya adalah orang paling baik yang pernah aku kenal. Mereka menyayangiku layaknya anak sendiri. Mungkin karena mereka tidak memiliki anak.

"Saya akan mengambil cuti tahunan Mel." Pak Ryan menatapku dengan senyum yang mengembang. Aku merengut mendengar ucapannya. Kalau Pak Ryan cuti, maka bisa dipastikan seluruh pekerjaannya akan beralih kepadaku. Terakhir beliau cuti ada banyak kekacauan dikantor yang mengharuskan aku lembur selama satu minggu penuh.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 02, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Still Love YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang