PART 4

974 53 0
                                    


"VOTE SEBELUM BACA!"

***

            Nama Aaron Bieber tertulis di sana. Dalam hatiku, bagaimana bisa aku malah menghubunginya? Aku bermaksud menghubungi ibuku tetapi …sial. Aku pasti memang ingin sekali menghubunginya dan aku malah membohongi diriku sendiri. Jantungku berdetak kencang ketika suaranya yang maskulin terdengar di telingaku. Darahku bernyanyi di bawah kulit dengan riang karena suara Aaron-lah yang kudengar. Tubuhku menggeliat seperti cacing untuk mendapatkan posisi yang nyaman untuk berbicara dengannya. Dengusannya membuatku cekikikan seperti orang gila. Ia kesal karena aku tak menyahut.

            “Siapa ini?” Tanya Aaron dengan suara tegas serta kesal. “Pancake,” kudengar suara anak kecil di sebelahnya. Oh, manis sekali suara itu. Pasti suara anak kecil itu adalah anak Aaron laki-laki yang ia ceritakan tempo hari. Dari suaranya saja sudah menggemaskan, bagaimana jika aku bertemu dengan anak laki-lakinya? Impian bodoh! Tidak mungkin Aaron Bieber akan mengajakku untuk bertemu dengan anaknya. Itu khayalan tertinggiku seumur hidup. Lalu, berpacaran mungkin? Tidak, tidak, tidak. Aku bahkan tidak mengenalnya seperti aku mengenal Brad.

            “Mr.Bieber, ini aku, Kath,” ucapku dengan suara yang dibuat tenang. Suara terkejut dari nafas Aaron terdengar, lalu ia tersenyum. Dia senang aku menghubunginya, mungkin lebih tepatnya, tak percaya. Aku pun tak percaya pada diriku sendiri yang ternyata meneleponnya, padahal niat awalku adalah menelepon ibuku. Membingungkan! “Terima kasih untuk kemarin malam. Benar-benar menakjubkan,” lanjutku selang beberapa detik karena ia tidak membalas.

            “Itu bukan apa-apa …Eh, Justin!” Kudengar suara pindahan ponsel ke tangan lain. Aku bingung. Siapa yang ia panggil? Ayahnya, Justin? Tidak mungkin ia memanggil ayahnya dengan nama seperti itu. Terdengar tidak sopan untuk orang seperti Aaron. Kudengar suara anak kecil mengunyah sesuatu lalu menggumam.

            “Hei,” sapaku dengan lembut.

            “Peepee? Halo, ini aku Justin!” Suara riang dari seorang anak kecil dengan kebahagiaan tiada tara itu terdengar. Senyumku mengembang sampai-sampai aku butuh bibir lebih lebar lagi untuk memaksimalkan senyumanku. Demi Tuhan ini adalah suara yang benar-benar menyenangkan untuk didengar. Ia mengoceh dengan bahasa sendiri yang tak mungkin kumengerti. Suara rebut-rebutan terdengar dari sana sampai aku tertawa pelan. “Tidak, daddy! Ini Peepee!”

            “Bukan, Justin. Berikan ponsel itu pada Dad. Peepee ada di atas kamar,” Aaron berucap dengan tegas. “Grace, bawa Justin ke kamar.” Aaron memerintah pada Grace. Hatiku merasa lega karena mereka akur kembali. Bagaimana pun aku harus meminta maaf padanya atas kejadian kemarin malam. “Maaf tentang Justin. Ia memang senang menelepon. Dia menganggap kau ibuku,”

            “Tidak apa. Aku hanya menghubungimu soal kemarin. Sungguh, aku minta maaf atas apa yang kulakukan pada Grace. Itu semua salahku. Rasanya salah jika aku tidak meminta maaf padanya, terutama padamu—“

            “Kath,” Aaron memotong ucapanku dengan suara yang benar-benar tegas. “Kau tidak perlu meminta maaf pada siapa pun. Anggap saja kejadian kemarin tidak pernah terjadi. Mengerti? Jika boleh, aku harus pergi ke atas sekarang,” ia terdengar sangat terburu-buru.

            “Tentu saja, senang berbicara denganmu, Mr.Bieber.” Aku enggan menutup telepon ini. Suaranya terdengar enak didengar, tak sanggup rasa harus mematikan telepon ini. Namun ia memintanya. Seperti ini …menjauh dariku. Tidak mengharapkanku. Lalu semuanya terasa sangat jelas. Kukedipkan mataku satu kali.

TOUCHING FIRE'S WATER || HERREN JERKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang