Awal mula.

3.2K 226 29
                                    

Dua kereta melewatinya begitu saja. Mendesah gelisah, pemuda itu mengetuk kaleng kopinya yang sudah seperempat. Baru saja ia buka setengah menit lalu.

Alisnya menaik tak sabar, tidak, kenapa di saat seperti ini, kereta yang ia naiki datang terlambat? Pekerjaannya menuntut keprofesionalitas, dan mau diletakan dimana jika ia, sang anak pemilik rumah sakit justru terlambat menghadiri rapat penting seperti sekarang?

Lebih baik ia mengambil tempat duduk daripada berdiri seperti orang bodoh---

'Pyas!'

"A-ah--"

Pemuda itu mengangkat alis, bingung dengan reaksi pemuda yang baru saja ia senggol yang terkesan---berlebihan?

"M-Maafkan aku!" Pemuda itu membungkuk dalam, dan justru membuat ia semakin heran.

"Maaf kenapa?"

"I-itu..." arah tunjuk pemuda itu ke arah jasnya. Ah, rupanya begitu.

"Tak apa, ini salahku yang tiba-tiba berbalik." Senyuman gentleman, ia menghapus tumpahan kopi tersebut dengan tangan kosong. Tidak apa, lagipula ia bisa membeli yang baru---dan berhubung warnanya gelap, tumpahan kopi tersebut tidak akan terlihat kan?

"Tetap saja!" Pemuda berambut salju itu merogoh tasnya dengan susah payah, sungguh, ia menjadi tidak enak sendiri "Terimalah!"

Sapu tangan?

"Sapu tangan ini manjur sebagai jimat juga loh!" Ucap pemuda salju itu dengan senyuman cerah.

Ah, kenapa jantungnya sempat berhenti berdetak?

Ia tersenyum tipis begitu menemukan bordiran rapi dengan font yang terlalu indah, "Mafu...mafu?"

"Yup, itu nama saya! Nama anda...?"

Ia tersenyum tipis "Panggil saja Soraru."

*-*-*-*-*-*-*-*-*

Suara burung gereja tampak berkicau dari luar, pohon-pohon cemara tampak menutupi sinar mentari, dan mau tak mau, matahari hanya dapat mengintip dari balik dinding-dinding hijau tersebut.

Sebuah pagi yang damai, yang paling nyaman jika diawali dengan secangkir teh daarjeling dan koran pagi. Tapi hari ini, sang empunya tengah absen dari rutinitas paginya tersebut.

Apalagi kalau bukan, 'mainan' barunya.

"AARGH---S-Soraru-san! HENTIKAN---"

"Kau kira kau bisa memerintahku, Mafu?"

"T-tapi... AH--Kumohon, S-Soraru-san--!"

Jari Soraru menyusuri punggung kepala Mafumafu, dan menariknya ke atas dengan keras. Memberi akses lebih bagi Soraru untuk mencicipi bibir bengkak sang albino. Lumatan posesif itu hanya membuat erangan keras Mafu dalam permainan lidah Soraru semakin meliar---tentu saja membuat Soraru semakin gila oleh perbuatannya.

Tangan Soraru bermain dengan milik Mafumafu---kadang ia menariknya kuat atau menutupnya tanpa rasa kasihan sedikit pun.

Mafumafu sungguh berantakan. Bibir dan lehernya dipenuhi oleh jejak-jejak darah, terdapat sayatan serta memar di sekitar pergelangan tangan dan dadanya. Mafumafu terengah, ia sungguh tak berdaya, kadang ia menarik tangannya dari sisi tempat tidur, berharap ikatan borgol yang mengikat pergelangannya dapat lepas.

Soraru hanya menatap tenang ke arah pemuda itu. Tentu saja, ia tahu kalau Mafumafu sudah sangat kelelahan, melakukan itu semalaman bukanlah hal yang ringan. Ia menyeka air liur---yang sudah tercampur dengan peluh serta air mata---dari ujung bibir Mafu, lalu tersenyum puas.

Tentu saja, ia sungguh puas dengan karyanya. Dada Mafu naik turun, ia--sungguh--tak dapat berpikir jernih, masa bodoh dengan kasur Soraru yang ia hancurkan sehancur-hancurnya.

"Tenang saja, Mafu sayang, kita bisa melanjutkan permainan kita setelah pekerjaanku usai..." Soraru mencium bibir Mafu singkat, menciptakan erangan dari sang empunya.

"Pertama, kau harus istirahat dulu."

Soraru meninggalkan Mafumafu terkunci dalam kamar pribadinya, sekilas ia melihat pobselnya.

9 missed call dan 16 pesan, dari Amatsuki---kadang Hashiyan---dan terakhir dari Kashitaro. Soraru hanya menatap pemberitahuan itu dengan datar.

*-*-*-*-*-*-*-*

"Lama tak jumpa, Kashitaro-san, bagaimana keadaanmu?"
Soraru menjabat tangan Kashitaro, melontarkan senyum penuh kharismanya tanpa menaruh curiga sedikitpun.

"Aku baik-baik saja, Soraru-san, mengelilingi jepang memang bukanlah ide yang buruk." Kashitaro menyamankan posisinya tanpa kesusahan dengan topeng rubah yang bertengger di sisi kepalanya "Ngomong-ngomong, apa kau sudah mendapat undangannya?"

Alis Soraru bertaut, "Undangan?"

"Ya, kau tahu sahabat lama kita, Luz? Kudengar dia akan menikah dengan salah satu pasien dari rumah sakitmu, kau yakin kau tidak menerimanya?"

"Tentu saja aku sangat mengenal Luz, tapi sayang sekali, sepertinya ia tidak mengundangku."

Kashitaro mengangkat selembar undangan tepat di sisi kanan pandangan Soraru, ia menumpukan kepalanya "Untung saja aku membawanya untukmu,"

"Hm. Terima ka---"

"Tapi, tentu saja undangan ini bukanlah untukmu saja, Soraru-san."

Soraru tidak menjawab, tatapannya was-was ke arah Kashitaro.

"Amatsuki-san sudah menceritakan semuanya kepadaku, Soraru-san. Tentang Luz-san yang menjual Mafumafu-san padamu."

Amatsuki? Menarik.

"Tapi aku yakin, kau pasti menganggap Mafumafu-san sebagai adikmu sendiri, kita kan teman baik." Kashitaro menepuk pundak Soraru dan meletakan undangan tersebut ke telapak Soraru.

"Tentu saja, Kashitaro-san. Terima kasih."

"Yah yah, kadang Amatsuki-san memang terlalu khawatir jika itu berkaitan dengan Mafumafu-san, sampai jumpa lagi Soraru-san."

Seusai Kashitaro menghilang dari pandangannya, Soraru menyeringai.

Ah, tentu saja Kashitaro sangat mengenal Soraru, pemilik rumah sakit ternama, sekaligus pemegang penting bisnis hukum dan ekonomi di seluruh jepang, namanya disebut dimana-mana. Dan kau sama saja bunuh diri---sekaligus perusahaan---jika berurusan dengan pemuda itu.

Kashitaro mengendarai mobilnya dengan laju, sementara pikirannya berkelut tentang kekhawatiran Amatsuki semalam karena telponnya tidak diangkat oleh Mafumafu maupun Soraru.

"Jika sesuatu terjadi pada Mafumafu, tentu ini merupakan salah Luz."

Dan mobil milik Kashitaro membelah jalanan distrik Tokyo.

Mine.Where stories live. Discover now