Obsesi.

4.6K 274 54
                                    

Keringat dingin menuruni pelipis Mafumafu, dan detak jarum jam seakan menjadi musik latar kematiannya saat ini. Bukannya Mafu bersikap puitis disini---tetapi sungguh, keheningan ini membunuhnya. Terlebih keadaannya yang terikat tak berdaya di kursi kayu tua.

Ada apa ini? Apa yang sebenarnya terjadi?

Mafumafu melirik jam dinding yang nampak samar-samar, terima kasih pada lilin di depannya, apakah ruangan ini memang didesain dengan minimnya penerangan?

Jam sepuluh lewat lima belas malam, seharusnya ia sudah menikmati makan malam dan hendak berangkat tidur bersama kakaknya--Luz--di rumah.

"Oh? Kau sudah sadar?"

Mafumafu sedikit terlonjak, tetapi telinganya tak bisa dibohongi; ia sungguh merasa familiar dengan suara berat khas itu.

"Soraru-san...?"

"Tepat sekali."

Pemuda itu mendekat, membuat seringaiannya terdeteksi sinar lilin. Mafumafu jelas merasa was-was melihat seringaian pemuda itu.

Soraru. Pemuda yang akhir-akhir ini sering bersama Luz, kakaknya. Mafumafu sebenarnya tidak tahu jelas apa hubungan keduanya--barangkali teman hang-outnya, tetapi aneh jika Mafu sering melihat mereka adu tinju.

Sekedar info, terakhir kakaknya bertemu dengan sang pemuda, ia melemparkan botol sake ke arah sudut kamar.

"Tidak perlu tegang," Soraru merentangkan tangannya dan mengganti senyumannya dengan senyuman tipis "Aku tidak akan menyakitimu---setidaknya untuk malam ini."

"Dimana Luz?"
Mafu terlihat berani, padahal sebenarnya ia takut. Maklum, dirinya selembut kapas, membunuh semut saja sudah membuatnya sujud minta maaf.

"Pemuda bajingan itu? Dia sudah pulang, tidak mau membiarkanku mencicipi tubuhnya dan malah memberimu sebagai penggantinya."

"Kakakku bukanlah orang yang seperti itu!"

"Oh, maaf, seharusnya aku tidak mengganti skenarionya ya?" Soraru menumpu dagunya, seakan berpikir "Sebenarnya ia sudah menawarkan tubuhnya, tapi kutolak. Kau tahu kenapa?"

"...?"

Grep!

"Karena aku lebih tertarik denganmu."
Mafumafu meringis ketika tangan Soraru menarik paksa rambutnya.

"Sial...an."

Mafumafu tidak akan pernah memercayai kata-kata pemuda ini, baginya Luz adalah kakak terbaik, semenjak mereka dibuang oleh keluarga mereka sendiri, Luz lah yang menjaga dan merawat Mafumafu dengan sepenuh hati. Tidak mungkin kan jika Luz tega memberi dirinya pada pemuda bengis ini?

Ya 'kan?

"Baiklah jika kau tak percaya."

Soraru melemparkan selembaran kertas---ah, lebih tepatnya selembar cek. Mafumafu menatap lembaran itu tidak percaya.

"Ini. Jumlah harga yang tak sanggup kakakmu penuhi."
Soraru berkacak pinggang "Ironis sekali, ia menjual dirimu demi kehidupannya sendiri."

"Kau menjebaknya!"

Itu bukanlah lembaran cek biasa, disana terdapat nama rumah sakit ternama. Selanjutnya,

Kain,
Pemuda yang rencananya akan dilamar kakaknya.
Sepintas terbesit senyuman hangat Luz sembari bersyukur mendengar bahwa Kain dapat keluar dari rumah sakit.

"Seharusnya dia tahu, bernegoisasi denganku tidaklah mudah."

Mafumafu masih saja terbelalak syok, tidak menyadari Soraru yang berpindah tempat di belakangnya dan bernapas di tenguknya.

"Sungguh keputusan yang tepat bukan? Dengan begitu dia bisa bersama dengan orang yang ia cintai, begitu pun denganku..."

"Kau... sudah tak waras, Soraru-san... aku tidak akan bersa--"

"Sayang sekali," Soraru menarik dagunya paksa, "Mulai sekarang, kau milikku, Mafumafu-san."

*-*-*-*-*-*-*-*

Desahan, erangan.
Soraru tersenyum puas, semua berjalan sesuai keinginannya. Ia menggigit bahu sang albino dengan keras. Yang bermain dipikirannya hanyalah; bagaimana bocah ini jatuh dalam pelukannya.

Ah, ngomong-ngomong sejak kapan ia begitu terobsesi dengan pemuda sewarna salju ini? Apa saat mereka pertama kali bertemu di peron? Atau saat pemuda ini meminjamkan sapu tangan miliknya dengan senyuman secerah matahari?

"Perkenalkan, Soraru-san, ini adikku, Mafumafu." Betapa inosennya Luz, mengenalkan pemuda ini pada dirinya yang memang sudah dari awal mengikuti gerak-gerik sang adik, tanpa menaruh curiga atas seringaian Soraru.

"S-Sora..."

Soraru kembali kepada kenyataan, dan menemukan Mafumafu tengah tersedu. Sedikit terkejut, ia bahkan tidak memasuki miliknya kedalam Mafumafu, tepatnya belum, ia masih bermain diantara selangkangan sang albino.

"Ck, lagi-lagi kau menangis."
Soraru menarik rambut Mafu secara paksa, meraup bibir ranum yang bengkak akibat perlakuan kasarnya.

Mafumafu menjerit, jelas ia belum pernah diperlakukan seperti ini sebelumnya.

"Ah... mengganggu."

Yang dimaksud Soraru adalah ponselnya yang kian berdering. Soraru membanting tubuh Mafumafu ke kasur, mendiamkan erangan kesakitan sang pemuda. Ia meraih ponselnya dengan malas tanpa memerhatikan kontak yang tertera dengan seksama.

"Hn? Ada apa?"

"Soraru-san, kau tidak melakukan hal aneh apapun dengan Mafu-kun kan? Kau tidak---"

'Pip'

"Pengganggu."

Satu bantingan lemah pada ponselnya. Ia menyeringai melihat kondisi Mafumafu sekarang.

Mafumafu merasakan sekujur tubuhnya memanas, napasnya tersenggal, dan penglihatannya buram. Ia tidak bisa berpikir rasional, bahkan hanya racauan yang keluar dari bibirnya.

Sungguh pemandangan yang indah.

"Sepertinya obat ini berfungsi,"

Soraru membuang bungkus putih merah itu sembarangan, atensinya terpaku pada Mafumafu sekarang.

"Ayo kita lanjutkan permainan kita, Mafu."

*-*-*-*-*-*-*-*-*

Not enough and many bullshit.
Saya akan membuat yang lebih nganu di chapter depan ;)

Maaf kurang, karena ini malem; ibuku terus berteriak menyuruhku tidur berhubung besok potong sapi, dan aku masih belum tega; membuat Soraru makin bengis.

Makasih banyak (banget) dah baca 'w')9

Mine.Where stories live. Discover now