Tujuh Belas: Berbeda

Start from the beginning
                                    

Happy birthday to you!

Lagu itu menggema di seluruh ruangan kafe.

Rendi tersenyum lebar. Terkesan terpaksa. senyum yang membuat hati semua orang terasa miris ketika melihatnya.

Rendi mengetik di ponselnya.

Makasih. Kalian sudah membuat ulang tahun terakhir gue sangat spesial.

Rendi menghadapkan ponselnya kepada Rena.

"Kata bang Rendi, terima kasih kalian sudah-"

Kata-kata Rena terputus karena ponsel Rendi terjatuh. Tangannya sudah lemas. Perlahan Rendi menutup matanya.

****

Suara ambulan memecah keheningan di jalan. Ambulan yang mebawa Rendi untuk menuju ke rumah sakit.

Sesampainya di Rumah Sakit, Rendi langsung masuk ke ruang ICU. Rena, Aldi dan Richard ikut menyusul ke rumah sakit.

Lama. mereka semua masih menunggu kabar baik dari dokter yang menangani Rendi.

1jam berlalu. 2 jam. 3 jam. Dokter nasih belum juga keluar. Mama Rena tidak bisa membendung air matanya. Ia menangis sejak tadi. Sedangkan Rena masih terus berdoa. Mungkin saat ini keajaiban Tuhan yang mampu menyelamatkan Rendi.

Dokter Ardhan keluar. Dengan muka yang sangat kusut.

"Gimana Rendi dok?"

"Maaf pak, Rendi tidak bisa di selamatkan. Kanker yang ada di otaknya, kini sudah menyebar hampir di seluruh bagian tubuh" jelas dokter Ardhan.

Kedua orang tuanya menangis seketika. Bahkan, ayahnya yang Rena pikir laki-laki paling kuat air matanya menetes juga.

Rena, entah mengapa ia tidak menangis sama sekali. Mungkin air matanya sudah mengering. Rena hanya diam menerawang. Ia sudah tahu hal ini pasti akan terjadi. Tinggal masalah waktu.

***

Aldi memberitahu Alma tentang apa yang terjadi dengan Rendi. Alma memutuskan untuk segera ke Jakarta.

Rendi di bawa ke rumah. Semua orang yang menggunakan pakaian serba hitam berdatangan. Kakek, nenek, sepupu semuanya datang untuk mengucapkan bela sungkawa.

Rena duduk di sebuah kursi. Tidak jauh dari jenazah Rendi. Ini adalah pemandangan paling buruk yang pernah Rena lihat.

"Rencananya di makamkan jam berapa?" Tanya sepupu Rena.

"Nanti jam 2 sore" jawab kakek Rena.

Ini masih jam 10 pagi. Masih ada waktu 4 jam untuk mengantarkan Rendi di tempat peristirahatan terakhirnya.

Orang-orang berdatangan. Teman-teman Rendi, kerabat dan keluarga.

"Ren, gue turut berduka ya" kata Hilda.

Rena hanya mengangguk.

"Gue tahu, semua orang nantinya bakal mati. Tapi gue nggak nyangka kalau secepat ini, Hil," kata Rena.

Hilari memeluk tubuh Rena dengan erat.

"Jangan sedih, dia nggak pernah mau lihat lo sedih,"

*****

Akhirnya, jam sudah menunjukkan pukul 2 sore. Rendi di berangkatkan menuju tempat pemakaman.

Setelah selesai di makamkan, semua orang berhamburan untuk pulang. Tiba-tiba Alma datang. Ia duduk di samping makam Rendi. Ia menangis histeris.

"Lo jahat Rendi!" Teriaknya.

Aldi sekuat tenaga untuk menenangkan Alma. Tetapi hal itu sia-sia. Alma malah semakin menjadi-jadi.

"Maksud lo apa pergi kayak gini huh?!" Teriak Alma lagi.

"Al, udah. Ayo pulang. Lo nggak boleh kayak gini," kata Aldi dengan sabar.

"Tapi bang, Rendi udah ninggalin gue! Dia jahat!" Kata Alma sebelum akhirnya dia pingsan.

Aldi menggendong adiknya itu sampai ke mobil. Ia membawanya ke rumah Rena. Jarak rumahnya terlalu jauh dari pemakaman jadi ia membawanya ke rumah Rena.

Setelah hampir 2 jam Alma pingsan akhirnya dia sadar juga. Alma masih menangis. Tetapi dia sedikit lebih tenang. Alma menangis dalam pelukan Aldi.

Rena langsung masuk ke dalam kamar. Ia mengurung dirinya. Ia tidak mau menemui semua orang yang datang.

"Gue bakal kangen banget sama lo bang, see you there, jagain gue dari sana ya"

****

Perjuangan seseorang untuk melawan kanker itu sangat luar biasa. Banyak hal yang bisa terjadi. Bisa sembuh, bisa tidak.

MY BEST BROTHER
PART 17

My Best BrotherWhere stories live. Discover now