10. Semanis Latte Buatannya

Start from the beginning
                                    

Tepat ketika aku melarikan jari telunjuk meraba bagian sinopsis dari buku yang dibacanya, Rezka menurunkan buku tersebut dari pandangannya. Kini wajahnya menatapku tepat sepuluh senti meter di depan mataku.

Aku pun tersenyum salah tingkah. "Aku nggak tahu kalau kamu suka baca buku."

Rezka membalas, "Beberapa bulan belakangan memang belum sempat baca lagi. Sejak persiapan pembukaan galeri lukisan saya lebih tepatnya. Sejatinya, saya ini seorang pecinta buku."

"Oh, ya?" kataku dengan nada terkejut tak dibuat-buat. "Kamu nggak ada tampang seperti orang yang suka baca buku."

Rezka tertawa mendengar tudinganku. "Begitu, ya?" tanyanya sambil masih memamerkan senyum manisnya. "Selain suka baca buku, teman-teman saya bilang, saya pandai bercerita. Kamu mau saya dongengin?"

Mataku mengerjap dua kali. Suara nyaring pluit kereta sempat menginterupsi obrolan intens kami tapi tak cukup nyaring melepas chemistry di antara kami.

"Tapi jangan dongeng fabel, ya. Apalagi si kancil," kataku sambil terkekeh jayus.

Rezka--sambil masih tersenyum--menggeleng. "Enggak," katanya. "Saya bahkan udah lupa bagaimana dongeng si Kancil. Saya mau cerita tentang pengalaman-pengalaman saya."

"Kalau begitu...." Aku menunjuk pundak Rezka sambil menusuk-nusuknya pelan, "sambil kamu cerita, aku pinjam pundak kamu buat sandaran, ya?"

Menyenangkannya, Rezka tak keberatan dijadikan pengganti bantal leherku. "Iya, boleh. Yang penting kamu nyaman."

Dan begitulah cerita Rezka mengalir. Cerita tentang masa remajanya sebagai seorang pelajar yang tidak pernah patuh. Tidak punya minat untuk berprestasi di sekolah. Remaja pemberontak, bahkan kepada guru dan orang tuanya. Wajah Rezka tampak ragu sebelum benar-benar bercerita kepadaku. Mungkin, dia takut aku akan menjauhinya setelah mengetahui sisi masa lalunya yang lain. Tapi, aku menyakinkannya, kalau masa lalunya dengan mantan istrinya saja bisa kuterima, apalagi hanya kenakalan masa remajanya. Menurutku, itu hal yang lumrah. Teman-teman sekolahku juga banyak yang nakal kala itu.

Rezka melempar pandangannya ke tembok-tembok pembatas dinding stasiun, palang pintu kereta api dengan antrian kendaraan di belakangnya, serta antrian kendaraan di lampu merah, yang menjadi pemandangan di luar jendela mengawali perjalanan kami.

"Saya terang-terangan merokok di depan guru saya, bahkan sempat saya ajak ngerokok bareng. Sayangnya, tawaran saya ditolak dan saya harus berakhir di ruang kepala sekolah dengan surat peringatan terakhir. Kepala sekolah hampir kewalahan menghadapi sikap nakal saya. Bahkan beliau mengancam mengeluarkan saya dari sekolah."

Rezka melirikku dari balik bulu matanya dengan malu-malu. "Saya bukan anak yang baik, kan?"

Aku tertawa pelan melihat ekspresi lucu Rezka. Bibirnya menyeringai lebar melihatku menertawakannya. "Aku juga bukan anak yang baik dulu, Rez," belaku yang justru menjadi bumerang untukku.

"Nggak baik bagaimana?" tanya Rezka penasaran sarat nada interogasi.

"Ups...." Tanganku bergerak naik menutup bibirku ketika tatapan Rezka menyorotku penuh untuk meminta penjelasan.

Aku memilin-milin ujung jaket milik Rezka salah tingkah. "Ya... suka nggak patuh juga... suka nggak pakai sabuk, bolos pelajaran ke kantin, seragamnya... agak kekecilan... hehehe...."

Senyuman Rezka membuatku menunduk malu. Lelaki itu tampak tidak sedikit pun merasa bahwa kesalahku adalah kategori "nakal" yang dimaksudnya. "Terusin dong ceritanya, kan sekarang giliran kamu yang lagi cerita. Kenapa jadi kepotong sama ceritaku?" ujarku mencari-cari alasan untuk menghindari tatapan memicing Rezka.

The Bridesmaids Tale #2: Portrait of a LadyWhere stories live. Discover now