Lembar pertama: Darah

5.5K 489 39
                                    

    "Jika kamu ingin bertahan, maka 10, 100 atau bahkan 1000 alasan tidak akan dapat membuatmu meninggalkannya. Begitu juga sebaliknya, saat kamu ingin meninggalkan sesuatu"

-Tere Liye-

》》Unfortunate《《

    Pesawat sudah mendarat dengan lancar.  Aku menaikkan kacamata hitamku, lalu mendongak ke kanvas biru di atas kepala. Langit tetap sama, meski kakiku berpijak di tanah yang berbeda. Awan berarak menari ke barat, angin bersemilir pelan. Aku mengangkat ranselku, menikmati pemandangan di sekitar landasan terbang.

     "Halo, Severich."

     Tante Nina yang masih kelelahan tampak mulai bersemangat kembali. Bagaimana tidak? Dua minggu sudah kami habiskan di Rusia hanya gara-gara White sialan itu. Ya...meskipun aku bersyukur karena telah membasmi mereka yang berada di Rusia.

    "Kudengar White juga sudah mulai dibasmi di sini, Cia. Ayahmu memimpin negosiasi penyanderaan tadi malam, kuharap dia membawa kabar baik" papar Tante Nina seraya menarik tangan kami berdua agar tidak terpisah. Bukan karena dia takut akan kehilangan kami, tetapi karena kami yang sering mengacaukan sekitar jika tidak dalam pengawasannya.

     Kami terus bergerak dan kini pergi mengambil koper. Tanganku bergegas menarik koper biruku yang bahkan senantiasa menemaniku berpergian semenjak kabur dari rumah delapan tahun lalu. Lalu lintas bandara cukup ramai, banyak orang yang tergesa-gesa menarik kopernya, ada yang masih terlihat santai saja membaca korannya sambil sesekali melihat jadwal keberangkatan pesawat. Severich memang selalu sibuk.

     "Kalian ingin minum sesuatu?" tawarku seraya melihat sisi kanan-kiri bandara yang terlihat sibuk. Mesin kaleng tepat berada lima meter di sebelah kami dengan televisi yang sedang menyiarkan berita di atasnya. Entah berita apa, yang jelas pembaca berita berhasil menarik penumpang-penumpang yang baru saja turun untuk mendengarkan kabar terbaru Severich.

      "Soda," balas Sara dengan cepat sembari menguncir rambut blondenya.
   
      "Lemon tea. Sara, harus berapa kali ibu menegurmu untuk tidak meminum soda? Ginjal yang rusak tidak akan laku," ketus ibunya seraya menyerahkan beberapa lembar mian untuk minuman yang akan kubeli. Aku menolak uluran tangannya, berniat untuk membelikan mereka secara gratis.

     "Hei! Bahkan jika aku mati sekalipun, tidak aka pernah kujual ginjalku! Ibu!" balasnya melipat tangan di dada, berjalan mencari tempat duduk yang cukup jauh dari ibunya. Lagi, mereka bertengkar.

     "Aku saja yang akan membelikan kalian, tunggu saja di sini. Akan segera kembali," Aku menolak halus, lalu pergi menyibak kerumunan. 

      Langit terlihat damai hari ini. Meski telingaku belum mendengar satupun informasi terkait pergerakan White di Severich, aku yakin organisasi sialan itu sedang menyusun kejayaan yang sempat limbung delapan tahun lalu. Dan pria itu--orang yang dahulu kupanggil ayah--pasti sedang kewalahan menerima serangan bertubi-tubi dari White hingga akhirnya ia, sebagai Komisaris Polisi, memutuskan menetapkan malam dengan harapan bisa menekan angka kriminalitas di malam hari. 

      Entah mengapa lalu lintas bandara hari ini sangat ramai. Aku terpaksa berdesak-desakkan, menyibak kerumunan hanya demi soda, lemon tea, dan juga susu. Ruapan aroma parfum, kafein, hingga rokok bercampur satu di udara. Mengotori penciumanku yang ingin cepat-cepat menghirup udara segar. Begitu tiga kaleng bergelinding keluar, aku akhirnya mengalah pada kerumunan, ikut-ikutan melongok pada televisi di atas mesin kaleng yang kini menjadi pusat sorotan semua orang. 

UnfortunateWhere stories live. Discover now