Birth

76 16 1
                                    

"Permisi, apakah benar saya berbicara dengan Mr. Theodore Frederick?" ucap seorang perawat wanita dari sebrang telepon.

"Iya, saya sendiri."

"Maaf Tuan, saya dari Rumah Sakit Hillary Center. Istri Anda yang bernama Eriska Frederick mengalami pendarahan pada kandungannya. Kami mohon agar Anda datang ke sini secepatnya."

"Baiklah, saya akan segera ke sana," ucap pria yang dipanggil Theodore mengakhiri pembicaraan yang berlangsung.

Theodore kemudian bergegas untuk menghampiri istrinya di Rumah Sakit. Dia tidak mengira jika kejadian seperti ini akan terjadi pada istrinya. Dengan cemas, ia mengendarai mobilnya ke luar dari kawasan Britania Raya yang padat akan kendaraan, berhubung jam pulang kantor telah tiba jalanan sekitar terlihat ramai dipenuhi kendaraan yang melintas.

Usia kandungan istrinya memang sudah menginjak sembilan bulan, tapi jika mengacu pada perkiraan dokter yang menangani persalinan istrinya, dua atau tiga hari lagi Eriska baru akan melahirkan. Tak disangka memang, takdir yang terjadi berbeda dari perkiraan manusia.

Dengan kecepatan penuh, ia mengendari mobilnya agar tidak terlambat datang ke Rumah Sakit. Tak lupa untuk mengucap serangkaian doa dalam hatinya disetiap detik. Rasa kasih dan sayang yang ia miliki untuk istrinya mampu membuatnya khawatir. Hanya harapan yang ia miliki untuk saat ini.

"Aku mohon kau bertahan Eriska," ucap Theodore disela kecemasannya.

Tak perlu menghabiskan banyak waktu, kendaraan Theodore memasuki pelataran Hillary Center. Ia segera memarkirkan mobilnya di basement Rumah Sakit, kemudian Theodore menghampiri meja resepsionis dengan langkah tergesa.

"Pasien bernama Eriska Frederick, di ruang mana dia dirawat?" tanya Theodore pada perempuan cantik yang berjaga.

"Maaf sebelumnya Tuan, apakah anda keluarga dari pasien?"

"Saya suaminya! Cepat kau beritahu saja di mana kamarnya!" sentak Theodore tak sabar kepada resepsionis tersebut.

"Bbbbaiklah. Pasien bernama Eriska Frederick, ruang persalinan kamar 34 lantai 3," jawab resepsionis tersebut tergagap.

Tanpa mengucap terima kasih atas informasi yang didapat, Theodore langsung berlari menaiki lift menuju lantai 3.

Melihat pengunjung rumah sakit yang langsung pergi tanpa berterima kasih, resepsionis yang berjaga terlihat kesal akan hal itu.

"Menyebalkan, sungguh tidak sopan!" gerutu sang resepsionis.

Tentu saja Theodore tak mendengar gerutuan tersebut, sang empunya nama saat ini telah berdiri di depan ruang persalinan untuk menunggu istrinya.

Theodore menunggu dengan kekhawatiran yang tercetak jelas di wajahnya. Ingin rasanya ia menerebos masuk dan langsung bertemu istrinya, namun hal itu tak mungkin ia lakukan. Dia hanya menunggu dengan sabar sampai ada pemberitahuan dari pihak rumah sakit yang menangani.

Suasana rumah sakit saat ini terlihat tenang, hanya ada petugas rumah sakit yang hilir mudik ke sana ke mari menangani pasien.

Tak terasa tiga puluh menit telah berlalu, lampu di ruang persalinan bernomor 34 kini telah berubah warna menjadi hijau yang menandakan tindakan operasi telah selesai dilakukan.

Theodore pun bangkit dari duduknya dan langsung menghampiri dokter yang telah selesai menangani operasi persalinan istrinya.

"Bagaimana keadaan istri saya dokter?" tanya Theodore cemas.

Dokter yang memakai name tag bertuliskan 'dr. Erick Heldon' itu memberi senyum ramah pada Theodore.

"Tenang saja Mr. Frederick, operasi persalinan yang istri Anda lakukan berjalan dengan lancar. Walau sempat terjadi hal yang tidak diinginkan pada kandungannya, kami berhasil menanganinya," jelas sang dokter.

(Pain)ting Voice (COMPLETE)On viuen les histories. Descobreix ara