File 6 - Nostalgia

16.3K 2K 428
                                    

"Dipa! Ke mana saja kamu, Nak?!" seruan dokter Ratih menyambut kedatangan kami.

Aku berdiri menjaga jarak beberapa meter, mengamati kedua orangtua Dipantara yang berkumpul di teras, terkejut melihat kedatangan putranya yang dikabarkan hilang di hutan saat melakukan ekspedisi.

"Masuk dulu. Jelaskan di dalam kenapa kamu hilang dan sekarang muncul tiba-tiba," tukas ayah Dipa seraya menggiring putranya masuk. Menoleh ke belakang, Dipa memberiku kode untuk ikut masuk.

Kuamati penampilanku dari puncak kepala sampai ujung sepatu. Sangat berantakan. Seharusnya kami singgah di apartemenku dulu sekadar beberes. Namun menurut Dipa, hal itu tidaklah aman bagi kami usai melarikan diri. Kakiku melangkah lamat-lamat. Aku tak pernah secanggung ini. Padahal ini bukan kali pertama kakiku menginjak rumahnya. Hanya saja karena orangtuanya ada di rumah ini, aku jadi sangsi mengenai penilaian mereka terhadap diriku.

"Bu, ini Mara. Kami hilang berdua di hutan dan sama-sama mencari jalan keluar." Dipa menunjukku.

Kusunggingkan senyum singkat. Dokter Ratih mengamati penampilkanku dengan saksama. Bibirnya mengembangkan senyum merekah. Ia lantas beralih menuju putranya lagi.

"Ayah sampai pulang setelah tahu kabar kehilangan kamu dari media massa Indonesia. Baru saja mau dicari bareng-bareng."

Aku yakin Dipa tak akan mau melibatkan orangtuanya ke dalam masalah. Apalagi masalah ini berbuntut dari masalahku. Tak seharusnya aku menyeretnya seperti saat aku menyeret Anarki. Ini bukanlah tindakan yang tepat.

"Silakan berbenah dulu," tutur dokter Ratih membuyarkan lamunanku.

Aku menggeleng. "Tidak perlu. Sebentar lagi saya pulang."

"Pulang dalam keadaan begini?"

Bagiku tak masalah. Aku mengangguk perlahan. Dokter Ratih dan suaminya meminta waktu sebentar pada Dipa dengan menariknya memasuki kamar. Kuamati sepenjuru rumah yang dipenuhi dengan bingkai-bingkai foto hasil bidikan lensa kamera Dipa. Ia seorang fotografer yang baik. Selain mencintai dunia teknologi, ia mencintai seni fotografi pula. Sembari mengitari seisi rumah, samar-samar kudengar pembicaraan ketiga orang itu di dalam kamar. Bukan bermaksud lancang, aku hanya penasaran. Maka, aku berhenti di dekat bufet yang memajang foto-foto masa kecil Dipa seraya mendengar percakapan di dalam.

"Kenapa kamu sampai begini, Nak?"

"Ah, ini mah biasa, Bu."

"Biasa bagaimana maksud kamu! Ibu tanya teman kamu, anaknya Bu Kinara, katanya kamu pisah sama dia dan melanjutkan petualangan. Tapi kamu nggak balik-balik. Ibu khawatir. Jadi langsung lapor polisi buat cari kamu."

"Sekarang aku kan baik-baik aja, Bu."

"Baik-baik aja apanya? Lihat. Wajah kamu lebam-lebam gini. Kenapa bisa begini?!"

"Yah, ini cuma kecelakaan biasa. Aku dan rombongan kepisah dan sempet jatuh. Terus ya begini hasilnya. Berhari-hari di hutan kayak begini mah biasa."

"Cewek yang kamu bawa pulang itu siapa?"

Indera pendengarku bekerja secara peka begitu diriku dilibatkan ke dalam pembicaraan. Aku memasang telinga.

"Temannya Anarki. Yang survive sama aku di hutan sampai bisa pulang lagi."

"Ya sudah, kamu buruan bersih-bersih. Ibu mau kabarin yang lain kalau kamu sudah pulang. Kakak kamu di Bali sampai bingung dan nggak bisa fokus sama kerjaan. Eh, beberapa hari lalu ibu dapat LoA. Kamu keterima di Leiden loh."

"Keterima di Leiden?"

"Kenapa? Kok kedengeran nggak suka?"

"Bukan gitu, Yah. Tapi..."

KLANDESTIN (Trilogi) (SLOW UPDATE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang