File 1 - Defleksi Ekuilibrium

25K 2.1K 352
                                    

Metro dalam keadaan yang tak terlalu padat penumpang. Di sudut bangku metro, aku menyandarkan punggung, sibuk bersama buku yang kubaca. Ponsel di dalam saku parkaku berdering. Begitu kuintip nama si pemanggil, aku mengangkatnya dengan segera.

"Salut," sapaku.

Terdengar suara di seberang sana yang mempertanyakan eksistensiku. Aku menjelaskan bahwa aku sedang berada di dalam metro dan sebentar lagi akan turun. Sambungan terputus beberapa saat setelah terdengar suara dari pengeras dan kereta mulai melambat. Kumasukkan ponsel beserta buku ke dalam ransel.

Aku melangkah di belakang jubelan penumpang menuju keluar kereta. Di sepanjang lorong menuju pintu keluar, barisan musisi meramaikan metro dengan berbagai lagu berbahasa Prancis. Aku melemparkan uang ke dalam kotak di depan mereka. Salah seorang dari musisi jalanan itu mengangguk padaku dan melambaikan tangan. Akhir-akhir ini kami memang saling bertukar sapa. Sejak aku sering menggunakan metro.

Tidak banyak waktu yang kutempuh untuk sampai di flat. Setelah turun di Saint-Georges, aku jalan kaki sekitar tiga menit menuju Rue d'Aumale. Sebelum menuju flat, aku mampir sebentar di Le Bon Georges, disambut dengan tulisan di bagian jendela:

LÉGUMES

DE MARAÎCHERS

CUISINE DE SAISON

VINS DE PROPRIÉTÉS

Aku celingukan ke seantero tempat, mencari segerombolan penghuni flat di Rue d'Aumale yang sebelumnya sudah menghubungiku memintaku mampir ke sana. Di antara pengunjung restoran, terdapat beberapa orang Indonesia. Wajah Asia salah satu dari mereka paling mencolok saat melambaikan tangan ke arahku. Aku menghampiri tiga orang yang duduk di kursi berbantal merah di bawah papan menu.

"Ngapain nih?" tanyaku pada Derby, mahasiswa dari Indonesia yang menempuh studi di Esmod. Di antara kami, memang hanya ia yang sedikit kemayu, meskipun tidak sepenuhnya. Meski demikian, jangan pernah meremehkan tangannya yang ajaib.

"Ditraktir Barga. Dia berhasil nembak si Amelie," jawab Derby seraya menyikut rusuk Barga yang tertawa seraya menggenggam gelas berkaki berisi wine.

"Gila. Baru berapa hari lu deketin dia?" Aku memosisikan diri di sebelah kanan Derby yang menyodorkan sebuah botol wine.

"Pelet Indonesia ternyata ampuh buat bule Prancis," Barga berbisik di samping kananku. Tangannya dikalungkan di sekitar pundakku, lantas menepuk lenganku. "Beuh, cuma gua kasih puisi yang nyontek di internet, langsung luluh dia!"

Tawa teman-teman seflatku meledak. Aku menuangkan wine ke dalam gelas dan mendekatkan tepinya pada bibirku.

"Berarti emang puisinya yang ampuh buat gaet si Amelie," di samping Barga, Alex mencerca. "Emang puisinya siapa? Rumi? Gibran?"

Barga menunjukkan secarik kertas dari saku parkanya. "Puisinya Padang Bulan."

Spontan, aku tersedak wine yang baru beberapa detik masuk kerongkongan. Melihat reaksiku, ketiga temanku serentak melemparkan pandangan ke arahku. Barga menepuk-nepuk punggungku, sementara Derby mengusap-usapnya—jari-jemarinya menari di sana, seperti meraba-rabaku. Aku praktis menggeliat dan menepuk tangan Derby yang mencuri-curi kesempatan.

"Kenapa lu, Nar?" tanya Alex seraya mengernyitkan dahi.

"Nggak apa." Aku mengusap bibirku yang basah.

Barga menunjukkan kertas itu di atas meja. "Gua translate ke bahasa Prancis, Njir. Mana ngerti lah Amelie kalau gua baca versi bahasa Indonesianya. Gua bener-bener harus ngucapin terima kasih sama Padang Bulan. Gara-gara puisinya, Amelie langsung klepek-klepek. Nih orang pasti romantis banget di dunia nyata..."

KLANDESTIN (Trilogi) (SLOW UPDATE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang