File 9 - Bonafide

21.8K 2.3K 440
                                    

Silakan putar lagu di atas juga untuk pertengahan. Thanks.

---

Sungguh sial. Rupanya ia tidak datang seorang diri. Ada lagi seorang laki-laki berambut cepak mengarahkan moncong senjatanya ke arahku. Perhatiannya dibagi antara rumah di belakangku dengan aku yang menunggu instruksi selanjutnya. Perempuan di depanku memberi kode pada si lelaki untuk lebih mendekat. Tanpa memindahkan matanya dariku, ia berbisik mantap,

"Cegah mereka melarikan mutiara ilegal itu. Kirim pasukan ke sana."

Si pria mengendap-endap, melambai ke seantero tempat. Aku sedikit tercengang tidak menyadari keberadaan pasukan-pasukan bersenjata—tanpa seragam—yang keluar dari tempat persembunyian, mengekori pria tadi untuk melakukan penyerbuan. Sementara perempuan di depanku memerintahkan aku berdiri. Tangannya sibuk menggeledah sekujur tubuhku. Ia berhasil menemukan pistol dan pisau yang kusimpan, lalu melemparnya ke semak-semak tempatku bersembunyi tadi. Salah seorang kawannya yang tak ikut dalam penyerbuan mendekati kami memunguti barang-barangku sesuai perintah. Perempuan tersebut mendorongku ke depan, menekan punggungku dengan moncong senjatanya memintaku segera berpindah mengikuti arahannya.

Kami perlu menyusuri hutan di luar jalan setapak, menerobos semak belukar lebat dengan duri yang menggores sebelah pipiku. Aku mengumpat tertahan. Perempuan di belakangku menyentak senjatanya menyuruhku diam.

"Jangan berisik, terus jalan."

"Aku bukan mafia," kucoba membela diri, meski tak yakin ia mendengarkanku. "Aku kemari karena—"

"Nanti saja dijelaskan."

"Aku cuma memastikan kamu nggak bunuh orang sembarangan." Menoleh ke belakang, kulihat ia menatapku tajam.

"Tetap jalan dan diam!"

"Fine."

Mulutku terbungkam sisa perjalanan panjang ini. Berulang kali aku menengok jam tangan dan—the fuck. Aku melupakan pelacak GPS itu. Lengkap sudah kesialanku. Naluriku membujuk untuk melawannya saja, namun hal tersebut dibantahkan oleh instingku yang berkali-kali mengatakan sebaiknya aku mengikuti saja perintah orang asing ini. Intel? Polisi? Tentara? Mana mungkin berambut panjang.

Dan... di sinilah aku sekarang. Sampai di sebuah rumah berbahan kayu yang dijaga oleh beberapa orang berbadan kekar yang serentak mengarahkan tatapan serupa ke arahku. Seolah aku adalah hewan buruan yang berhasil ditangkap seorang pemburu. Wanita! Rumah sederhana namun bertingkat rendah—lotengnya hanya ada satu—tersebut rupanya tidak seburuk yang kukira. Di dalam terlihat bersih, tertata, dan dilengkapi barang-barang yang perlu kuamati beberapa detik dulu untuk memastikannya. Perempuan yang menangkapku itu memerintahkan aku duduk di salah satu kursi kayu.

"Ramses!" ia berteriak lantang. "Ramses! Aku membawa anak kijang!"

Bola mataku terputar ke atas. "Ibuku punya peranan penting di sejarah Indonesia era Reformasi. Enak aja dipanggil kijang."

"Diam."

Orang bernama Ramses muncul dari sebuah kamar. Kali ini aku menemukan orang yang tak bersenjata, meski tetap sama kekarnya seperti kawan-kawan lainnya. Aku menengadah, bertanya pada diriku sendiri akan diapakan aku di sini.

"Di luar operasi penyergapan," ia membuka suara. Logat Bataknya sangat kental. Mungkin 'anak kijang' yang dimaksud wanita itu adalah sebuah kode. "Siapa namanya?"

"Anarki," wanita tersebut menjawab di sampingku.

"Nama asli."

Aku tertawa pendek. "Itu nama asliku."

Ramses menoleh ke arah wanita di sampingku. Mereka terlibat kontak mata selama beberapa detik—sempat kutangkap gestur perempuan tersebut dengan mengedikkan kepalanya samar.

KLANDESTIN (Trilogi) (SLOW UPDATE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang