Satu

1.2K 95 1
                                    


Tiga hari berlalu dan Yoona belum sekali pun memejamkan matanya. Terkadang mimpi tentang kematian membuatnya merasa harus tetap terjaga. Entah disebut karunia atau kemalangan yang pasti Yoona sama sekali tidak menginginkan kelebihannya ini. Bagi sebagian orang, mungkin kemampuan ini adalah karunia dari Tuhan, tapi bagi Yoona, kemampuan ini tidak lebih dari sekadar mimpi buruk belakang.

Mengetahui kapan seseorang akan mati bukanlah hal yang main-main. Yoona bisa saja memilih menolong mereka, tapi gadis itu lebih memilih tidak ikut campur, walau ia selalu terlibat dalam kasus kematian setiap orang dalam mimpinya. Karena, jika Yoona ikut campur tangan dalam kasus ini, maka takdir juga ikut berubah.

Yoona sudah lupa kapan pertama kali ia mendapatkan kemampuan aneh ini. Tiba-tiba saja sudah banyak orang yang mati disekitarnya. Mungkin satu tahun yang lalu ketika seorang pria terjatuh dari lantai tiga sebuah mall atau ketika seorang gadis kecil yang jatuh terlindas di perlintasan jalur kereta api bawah tanah satu setengah tahun yang lalu. Mungkin lebih lama dari yang Yoona bayangkan.

Dan yang lebih menyebalkan, kemampuannya ternyata tidak bisa dikendalikan sesuka hati. Mimpi kematian datang tidak menentu, mau siang atau malam selama Yoona tertidur, mimpi itu bisa saja datang. Dan mimpi itu tidak bisa dipanggil layaknya hujan. Mimpi itu tidak datang setiap hari, hanya beberapa kali dalam setahun.

Dan selama yang Yoona ingat, ada lebih dari sepuluh kasus kematian yang terjadi dalam kurun waktu satu tahun ini. Selama itu pula, Yoona sudah keluar masuk kantor polisi menjadi salah satu saksi mata dan yang perlu diingat, hanya ada tiga kasus kematian dalam mimpi Yoona, kecelakaan, pembunuhan, dan bunuh diri. Karena terlalu sering dipanggil ke kantor polisi, Yoona dicap pembawa sial oleh teman sekelasnya.

Kepala yang tertopang dengan tangan beberapa kali hampir jatuh ke atas meja. Pelajaran kelima setelah istirahat makan siang adalah waktu yang tepat untuk tidur. Perut yang telah terisi penuh dengan makanan dan pendingin ruangan yang menyejukan, ditambah lagi dengan mata pelajaran sejarah dunia yang membosankan. Yoona mengantuk.

Beberapa murid laki-laki yang duduk di barisan belakang sudah membenamkan kepalanya di atas meja. Menurut Yoona bukan salah murid jika mereka tertidur di kelasnya, karena memang semua yang diucapkan guru berumur lebih dari setengah abad itu terdengar tidak jelas. Ini semua karena faktor umurnya, gigi palsu yang beradu menciptakan suara aneh yang membuat orang lain ingin tertawa mendengarnya. Walau hampir semua murid tertidur, tapi Yoo Songsaenim tetap mengoceh panjang lebar tentang Pertempuran Laut Filipina yang terjadi pada masa Perang Dunia II.

Ketukan pulpen yang beradu dengan buku, kaki yang terayun-ayun di bawah meja, atau pandangan yang teralih kesana-kemari. Yoona sudah mencoba segala cara untuk dirinya tetap terjaga, tapi sungguh ia sangat mengantuk. Ia memang selalu mengatakan bahwa ia tidak perduli dengan orang-orang yang mati dimimpinya, tapi–hey, mengetahui seseorang yang akan mati di depanmu, itu adalah mimpi buruk. Lebih baik ia tidak mengetahuinya sama sekali.

Setetika suara-suara disekitar Yoona berkelebat seperti desisan lebah dan semuanya menjadi gelap. Oh tidak, ia tertidur.

Yoona hanya berdiam diri ditempatnya berada sekarang, keadaaan disini masih gelap dan sunyi, ini adalah awal mimpi kematian. Kemudian setitik cahaya muncul dan menampakkan seorang wanita yang berdiri di tempat yang tinggi–Eru tidak begitu yakin dimana wanita itu berdiri–sambil menatap ke bawah. Matanya bengkak, dia menangis sejadi-jadinya. Mengambil satu langkah ke depan, kemudian terjun dan menghilang dibalik lebatnya kabut.

Dia bunuh diri.

.

.

.

In a DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang