Chapter 8 : Yena's father

3.8K 411 87
                                    


"Hana, apa kau baik-baik saja?" Jun melangkah menghampiriku ketika siang itu aku tengah ada di ruang kostum, fitting gaun untuk acara nanti malam.
"Hm? Memang aku kenapa?" tanyaku balik.
Jun menelengkan kepalanya.
"Mm, kau kelihatan tak sehat, dan kau pucat,"
Aku cepat-cepat tersenyum.
"Aku tak apa-apa. Sedikit lelah mungkin," ucapku.
"Nanti malam adalah pemilihan top 3, satu peserta akan dipulangkan lagi. Jadi kau tak boleh sakit. Jujur aku lebih suka kau yang pulang, tapi apapun keputusanmu, aku akan mendukungmu,"
Aku tersenyum hambar, lalu mengangguk.

"Dan maaf kemarin aku tak bisa mengantarkanmu pulang. Tiba-tiba saja aku ingat kalau aku harus menggantikan rekan yang ijin," Jun meminta maaf dengan tulus. Aku kembali tersenyum seraya merapikan gaun yang telah selesai ku coba, dan menggantungkannya kembali ke dalam lemari kaca.

"Tak apa-apa," jawabku pendek.
"Bagaimana keadaan Yena?"
"Dia sudah sehat. Lizzy merawatnya dengan baik,"
"Oh, syukurlah kalau begitu. Oh iya, kalau kau tak keberatan ...," kalimat Jun tertahan ketika fokus pandanganku beralih ke sosok figur yang berkelebat di depan pintu ruang kostum.

"Mingyu!" panggilku spontan.
Aku menatap Jun dengan sorot permintaan maaf. "Jun, sebentar ya. Aku harus bicara dengannya,"
Sempat menangkap kekecewaan di mata lelaki berhidung mancung itu, toh aku tetap berlalu meninggalkannya. Mengejar Mingyu.

"Mingyu!" Aku berlari kecil menyamai langkahnya. Lelaki itu melirikku sekilas, tak berniat menghentikan langkah.
"Kalau ada yang ingin kau bicarakan, ke ruang kerjaku saja," ia berucap tanpa melihat ke arahku.
"Oke," aku menjawab cepat, dan terus mengikuti langkahnya.

***

Mingyu duduk di pinggiran meja dengan kaki disilangkan, sementara tangannya bersedekap dengan angkuh. Raut mukanya dingin, tatapan matanya tak terbaca.
"Jadi apa yang ingin kau bicarakan?" Suaranya rendah.

Aku menelan ludah. Berdiri agak canggung di hadapannya.
"Itu. Tentang permintaanku ...," rasanya aku tak mampu melanjutkan kalimatku.
"Kau pikir kau siapa berani memerintah diriku, huh?" senyum sinis terbentuk di bibir Mingyu.
"Aku yang punya kuasa untuk menentukan siapa yang akan pulang, siapa yang akan tinggal. Tak seorangpun boleh ikut campur, termasuk dirimu."

Tapi aku ingin pulang, ratapku dalam hati.

"Jangan karena kau telah menyerahkan tubuhmu padaku, maka kau berhak memerintah diriku. Setidaknya aku harus menidurimu beberapa kali, baru kau berhak mengajukan permintaan padaku. Bagaimana? Tertarik mencobanya?"

Tanganku terkepal. Nyaris saja aku melangkah menghampiri Mingyu lalu menampar pipinya atas semua hinaan yang ia lontarkan.
Tapi begitu melihat tatapan matanya yang jijik ke arahku, tubuhku lebur seperti butiran pasir.

Kenapa aku harus marah atas penghinaannya? Toh aku sudah bertingkah seperti jalang di hadapan lekaki itu.  Aku menyerahkan tubuhku padanya dalam keadaan putus asa, aku bahkan menikmati berhubungan sex dengannya.

Terkutuk kau, Hana. Umpatku dalam hati.

Merasa apa yang ku hadapi sia-sia, aku menarik nafas, lalu berbalik. Melangkahkan kakiku dengan hati remuk meninggalkan ruang kerja Mingyu.
Tepat ketika aku sampai di ambang pintu, Mingyu kembali berujar, "Aku tidak akan mengirimmu pulang, Hana. Kau akan ikut acara ini hingga episode terakhir. Camkan itu,"

Aku memejamkan mata sesaat. Dan tanpa menoleh kembali ke arahnya, aku beranjak.
Dan perlahan air mataku berjatuhan.

***

Aku buru-buru melangkahkan kakiku ke kamar tidur ketika mendengar suara-suara ribut di dapur.
Sempat ingin mengabaikan, aku malah melangkahkan kakiku ke sana, ke dapur, mencoba memeriksa apa yang terjadi.

SWEET HOMEWhere stories live. Discover now