Aku suka barang-barang branded, tak perlu kusebutkan apa saja dan yang mana saja isi lemari pakaianku yang tidak bermerek. Hampir seluruhnya kubeli di butik kelas menengah. Aku suka makan malam cantik, aku suka liburan, aku suka membeli berbagai peralatan makeup yang belum tentu kupakai. Hidupku cenderung boros, tapi aku masih mampu membiayai dan memenuhi segala keinginanku sendiri. Aku--perempuan yang mapan secara finansial--tidak memerlukan suami hanya untuk satu buah tas Prada atau makan malam cantik di Ibiza.

"Mbak, aku masih sanggup menuhin segala kebutuhan hidup aku sendiri," protesku untuk kesekian kalinya.

"Tapi umur kamu sudah dua puluh lima, Kaia! Kamu mau tunggu apa lagi?"

"Apa salahnya lajang di usia dua lima? Aku bukan nggak laku, Mbak. Justru aku nunggu calon yang tepat."

"Ya siapa tahu Adnan ini adalah calon yang kamu tunggu selama ini, Kay...."

"Raia... Raia... Sudah. Adikmu ini belum ingin menikah. Biarkan saja. Jangan dipaksa," tengarai papa melihat raut kekesalan di wajahku. Aku memandang papa berterima kasih.

Mama masih diam di tempatnya walauput raut wajahnya menampakkan kecemasan. Takut bahwa rapat ini akan menimbulkan pepercahan dalam keluarga kami.

"Sudah bagaimana, sih, Pa? Kaia ini harus sadar kalau pekerjaannya sebagai seorang sekretaris bikin mama dan papa nggak tenang," tandas Mbak Raia yang membuatku terkejut.

Aku memandang mama dan papa bingung, meminta penjelasan. Orang tuaku tidak pernah mengomentari pekerjaanku sebelumnya. Walaupun kadang mama suka menanyakan apakah aku suka dengan pekerjaanku, tapi beliau tidak pernah menunjukan rasa cemas seperti yang dikatakan Mbak Raia.

"Benar begitu, Pa, Ma?" tanyaku dengan nada kecewa.

"Mama dan papa memang sengaja nggak bilang sama kamu, Kay, karena kamu cinta mati dengan pekerjaan kamu, kan? Mama dan papa itu takut kalau kamu jadi simpanan bos kamu. Makanya mama dan papa nerima usulan Mbak supaya kamu cepat menikah biar nggak keburu difitnah orang!"

Aku menarik napas panjang berusaha menenangkan diri agar bisa berbicara baik-baik dengan Mbak Raia tanpa emosi. "Mbak... sumpah demi Tuhan aku ini bukan simpanan bosku. Nggak semua sekretaris begitu. Aku nggak begitu," tegasku pada Mbak Raia.

Mataku mulai terasa panas. Tenagaku yang sudah sisa seperempat sepulang dari kantor tadi kini benar-benar terkuras habis. Percuma berusaha menenangkan diri karena pada akhirnya aku tak bisa menahan emosiku untuk tidak menangis.

"Aku akan cari calon sendiri. Mama, Papa, Mbak Raia, dan Mbak Maia nggak perlu khawatir dan ikut campur masalah mencari jodoh. Aku masih mampu cari calon yang pantas untukku sendiri," tutupku kemudian beranjak meninggalkan ruang keluarga menuju kamarku.

Di sana aku berbaring, menghabiskan malamku dengan menatap langit-langit kamar. Kuabaikan ketukan Mbak Raia di pintu dan panggilan halusnya. Sebelum pamit pulang, Mbak Raia sempat meminta maaf atas sikap egoisnya kepadaku dari balik pintu.

"Maaf, ya, Kay. Mbak terlalu emosi dan egois tadi. Mbak nggak akan maksa lagi kalau kamu memang nggak ingin dijodohkan. Tapi, tolong kamu pikirkan perasaan Mama dan Papa karena sudah banyak desas-desus di kalangan keluarga tentang kamu."

Setelah itu, aku benar-benar termenung memikirkan nasibku.

****

"Kenapa, sih, Kay? Tumben lesu gitu suaranya?"

Aku tersenyum masam mendengar nada suara kalem Audi di seberang telepon. "Elo juga nggak biasanya kalem begini."

"Sialan, lo," umpatnya kesal, "tapi, iya, sih. Suasana hati gue lagi bagus pagi ini. Tadi pagi Gema sempat-sempatin jemput ke apartemen dan nganterin ke kantor padahal gue tahu dia baru balik dari kantornya pukul dua malam."

The Bridesmaids Tale #2: Portrait of a LadyWhere stories live. Discover now