6. Percakapan tentang Aku, Kamu, dan Kita

Start from the beginning
                                    

Nadine langsung memijat pelipisnya begitu mendengar jawabanku. Aku memandang Nadine sedikit resah dan agak bersalah. Adel berusaha menghiburku dengan mengelus lenganku sementara Lana hanya termenung.

"Sudah kami duga...." jawab ketiganya kompak.

"Sabar, ya, Kay," ujar Adel penuh dukungan. Aku tersenyum dan mengangguk.

"Kay, bisa nggak, sih, lo berhenti nge-treat pacar-pacar lo just like 'you are hired' and then 'you are fired'. Mereka itu pacar, Kay, bukan calon asisten lo," Alana memprotes sambil geleng-geleng kepala.

Aku menatap Lana terkikik. Merasa bersalah juga kepada sahabatku yang satu itu. Aku tahu betapa sulitnya bagi seorang perempuan yang tertutup dan sensitif seperti Lana untuk mendapatkan pasangan. Bahkan Samudra--kekasih Lana yang sekarang--berkata bahwa gadis itu memang sulit sekali untuk didekati. Lana sendiri pernah mengungkapkan rasa herannya atas kemampuanku untuk memiliki hubungan dekat dengan tiga lelaki sekaligus. Mata Alana hampir melompat waktu aku menceritakan hal itu kepadanya.

"Wait, berarti... groomsman kita berkurang satu dong?" Nada suara Nadine menyiratkan rasa kekecewaan yang jelas. Gadis itu kembali memijat pelipisnya.

Aku mengerti perasaan Nadine. Banyak hal yang harus dipikirkannya untuk persiapan pernikahannya dan aku tak mau menjadi beban pikiran tambahan untuk Nadine.

"Tenang aja, Nad. Elo nggak usah khawatir. Gue pasti akan segera cari pengganti Eggy... atau nanti gue ajak Farras kalau terpaksa," ujarku berusaha menenangkan Nadine.

Farras adalah kakak sepupuku. Dibandingkan Ervan, Farras tipe lelaki yang lebih fleksibel untuk diajak berkontribusi dalam acara-acara semacam ini. Farras bukan tipe manusia yang akan banyak berkomentar seperti Ervan. Aku yakin Farras akan bersedia menolongku. Aku tinggal memasang wajah paling memelas di hadapannya, Farras tidak akan tega menolak permintaanku.

"Curang," keluh Lana yang sempat ingin mengajak kakak sepupunya juga sebagai pasangan groomsman-nya di pernikahan Nadine namun ditolak mentah-mentah oleh kami karena Lana memang benar-benar perlu mencari pasangan.

Nadine tampak sedikit lega mendengar perkataanku. Ia pun meraih minumannya. "Tapi, ada yang aneh. Lo nggak kelihatan sedih sama sekali, Kay. Iya, sih, gue tahu hal kayak begini sudah jadi makanan lo sehari-hari...."

"Sialan, lo!" makiku pelan sambil tertawa. "Ya nggak ada gunanya dan rugi banget, Nad, kalau gue sedih dan patah hati cuma buat cowok brengsek kayak Eggy," jawabku diplomatis dan tak kuasa menahan senyumku ketika bayangan sosok Rezka sekelibat melintas di kepalaku. "Apalagi... gue baru menemukan pangeran charming gue yang baru... hihihi."

Alana, Nadine, dan Adel melongo menatapku. Lana, yang sadar lebih dulu berseru nyaring sambil bertepuk tangan lambat-lambat.

"Gila!"

"Lo punya pacar baru?" tanya Adel terkejut.

"Siapa, Kay?" lanjut Nadine.

Aku menggeleng dan menunduk dengan wajah masam.

"Maksudnya gimana, sih? Gue nggak ngerti, deh." Nadine berkata sambil memiringkan kepalanya bingung.

Aku memandang para sahabatku lagi satu per satu sambil tersenyum malu-malu. "Ya... begitu, deh. Gue yang naksir duluan...."

"Dan dia nggak suka sama lo?" tebak Lana tanpa basa-basi.

"Akan, Lan. Segera," jawabku pasti lalu menyeruput minumanku.

****

"Pagi ini Bapak tidak ada jadwal meeting, tapi nanti siang ada rapat dengan jajaran komisaris di Pullman."

The Bridesmaids Tale #2: Portrait of a LadyWhere stories live. Discover now