Prologue

248 42 35
                                    

2 Januari 2100.

"Saudari Widy, kapal keberangkatan akan segera bertolak. Diharapkan anda sudah berada di dalam sekarang," ujar robot humanoid perempuan berpakaian resmi. Yang tampak seperti manusia normal.

"Saudari Widy? Mengapa engkau tak menjawab?" Ia bertanya sekali lagi. Sontak, raut wajah robot humanoid kian mengerut. Matanya terbelalak. Seakan-akan mengerti apa yang Widy rasakan. Widy sekarang tengah bimbang tak keruan. Menangis pun tidak. Air matanya telah kering tak bersisa. Perasaannya runyam. Luka batin masih menggebu dalam raga. Widy masih tak percaya. Persitiwa yang ia alami sehari lalu. Matanya mulai melihat memori itu sekali lagi. Tampaknya, ia masih belum yakin. Widy, ini bukan mimpi! Ini sungguhan!

Widy sampai saat ini terperdaya dalam lamunan. Saat orang putus harapan. Mereka terus didatangi rasa bersalah yang tak termaafkan. Sepucuk kertas tergenggam erat dalam tangannya. Sayang, robot humanoid perempuan yang berada di dekatnya hanya terdiam membisu. Terprogram tanpa ada emosi dan ikatan batin. Tak pantas, jika robot mengganti pekerjaan manusia dalam psikiater. Jika pasien mengalami gangguan psikis berkepanjangan. Apa robot humanoid mampu untuk menyembuhkannya?

Dalam kebisuan. Kedua robot humanoid lain mencoba mengangkat tubuh Widy yang terkulai lemas. Widy dalam kondisi setengah sadar. Rambutnya yang menjuntai panjang tak menghalangi kedua robot humanoid untuk melaksanakan tugasnya. Dibopongnya tubuh Widy menuju dermaga. Berlatarkan kota yang baru saja diderai oleh kehancuran. Sisa-sisa puing dan kobaran api masih larut dalam semilir angin. Robot humanoid perempuan mengedipkan mata. Lalu pergi ke posko darurat dekat  dermaga.

Sayu-sayu mata Widy berkaca. Memandang matahari terbit yang seolah melambaikan sinar kepadanya. Widy pun menyunggingkan senyum. Berharap penantian panjangnya akan segera hilang tertelan zaman.

Nuclear WinterWhere stories live. Discover now