Part 13 - Antara Hujan dan Harapan

5.3K 469 21
                                    

Alunan suara merdu yang diiringi oleh denting piano, mengisi keheningan cafe sore itu. Di luar rintik-rintik hujan membasahi bunga-bunga yang bermekaran di depan cafe.

Seorang gadis dengan dress selutut berwarna biru laut tampak menikmati lagu yang ia sedang nyanyikan. Di sampingnya tangan seorang pianis tampan sedang menari-nari di tuts piano.

"I set fire to the rain, and I threw us into the flames well, it felt something died 'cause I knew that was the last time the last time, oh, oh!"

Tepukan tangan menggema di ruangan cafe kecil tersebut. Kemudian penyanyi dan pianis muda tersebut undur diri dan berjalan ke salah satu meja kosong.

"Kinan lain kali lo harus bilang kalau mau nyanyi lagu baru!" ujar pianis tersebut sambil mengusap keringat di pelipisnya.

"Sori Sen, gue lupa," balas Kinan enteng. "Lagian lo bilang sendiri lo pianis handal, jadi harusnya engga ada keluhan lagi dong?"

Arsen menaikan sebelah alisnya. "Ah iya betul! Lo sengaja ngetest kemampuan gue ya? Lo tau not-not balok yang lo kasih tadi bikin kepala gue pusing tau engga!"

Omelan Arsen yang panjang lebar membuat Kinan tertawa pelan. "Apa gue buku yang gampang dibaca?" tanya Kinan sambil memperhatikan tangan Arsen yang sedang mengotak-atik sebuah rubik.

Arsen mengangkat bahu. "Seenggaknya Reva menepati posisi pertama."

Kinan terkejut mendengar nama Reva keluar dari mulut Arsen. Tidak biasanya cowok itu mau membicarakan orang lain, padahal biasanya jawaban Arsen hanya iya atau tidak jika ia ditanya pertanyaan semacam itu.

"Lo sama Reva ada urusan apa Sen?" tanya Kinan dengan ragu.

Arsen melemparkan rubik yang sudah selesai ia mainkan, kemudian menatap Kinan datar. "Bukan hal penting," jawabnya kemudian.

"Kalau bukan hal penting gue boleh tau dong?" Kinan mencoba mendesak Arsen dengan halus.

Namun Arsen bisa membaca maksud Kinan, ia mengambil rubiknya kemudian memasukan benda kubus itu ke dalam tasnya. "Gue pulang dulu."

Kinan gelagapan saat mengetahui Arsen yang tiba-tiba ingin pergi. "Arsen, di luar masih hujan lo bisa nunggu di cafe sampe hujan berhenti."

Tapi usaha Kinan gagal, karena Arsen menggeleng tegas. "Besok ada ujian, gue belum belajar."

Kinan menghela napas, jika kata 'ujian' sudah keluar dari mulut Arsen, Kinan engga bakal bisa menahan cowok itu. Kinan hanya bisa menatap punggung Arsen yang keluar melalui pintu kaca cafe.

"Sial, ke mana akal sehat gue? Harusnya gue engga nyampurin urusan pribadi dia," rutuk Kinan terhadap dirinya sendiri.

Sedangkan di luar cafe, Arsen hanya berdiri mematung, tangannya menjulur ke depan dan air hujan langsung membasahi tangannya. Angin berhembus kencang, membawa titik-titik air hujan mengenai wajahnya. Arsen terus menatap lurus ke depan, sampai ia sadar dengan sendirinya, kalau ia harus segera pulang dan belajar untuk ujian esok hari.

"Hujan deras, sekalian mandi," gumam Arsen sambil tersenyum tipis.

Ia mulai berjalan cepat membelah hujan yang memang mengguyur sangat deras. Arsen merutuk dalam hati, kalau sepedanya masih ada mungkin akan sangat membantu. Tapi gara-gara Reva, si cewek sombong itu, Arsen kehilangan transportasinya sehari-hari. Dan harus berjalan kaki ke mana pun ia pergi.

Kos-an Arsen berada 3 km dari cafenya bekerja. Dan jika cuaca cerah, Arsen akan senang hati berjalan kaki, namun sepertinya nasibnya memang sedang buruk. Tidak lama kemudian, petir menyambar membuat ia menambah laju kecepatan berjalannya. Kemejanya yang berwarna hijau sudah basah kuyup. Angin berhembus tiada ampun membuat Arsen memeluk tubuhnya.

DesgraciaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang